Keluarga kecilku

“Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya”.

Akal yang sehat berada pada badan yang sehat

"Orang mukmin yang kuat lebih baik dan disukai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah." (Hadis Riwayat Muslim)

Bahagia itu simpel, kalau dapat berbagi dan ngumpul bersama

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Karena hal tersebut merupakan standar tertinggi dan ukuran dari seimbangannya kebaikan dalam hati dan amal-amal kita.

Belahan jiwaku

Seorang ibu adalah madrasah bagi para putranya, Mempersiapkannya adalah mempersiapkan sebuah bangsa yang mulia.

Keluarga kecilku

“Wajib bagi seorang suami berusaha untuk menjadikan dirinya dicintai oleh istri-istrinya hingga ialah yang menjadi orang yang paling mereka cintai”

Kamis, 04 September 2008

Mari Berpuasa

Puasa atau shiyam dalam Al-Qur’an berarti “Menahan Diri”.
Al-Qur’an ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datang dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan dalam bentuk pasif: “Diwajibkan atas kamu bepuasa....(QS 2:183). Agaknya redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa puasa tidak harus merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkannya atas dirinya sendiri pada saat ia menyadari betapa banyak manfaat di balik puasa itu.

Manusia diciptkan oleh Tuhan dari tanah dan dari Ruh Ilahi. Tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani, sedangkan Ruh Ilahi mengantarkannya kepada hal-hal yang bersifat ruhaniah. Tidak dapat diingkari bahwa kebutuhan jasmani, khususnya fa’ali (makan dan minum), menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia sehari-hari. Daya tariknya demikian kuat sehingga tidak jarang orang terjerumus karenanya. Seseorang yang mampu mengendalikan diri dalam kebutuhan yang mendasar itu, diharapkan dapat mengontrol diri pada dorongan naluriah atau nafsu lain yang justru berada di peringkat bawah diabandingkan dengan kebutuhan fa’ali tersebut. Dari sini dapat dipahami mengapa syarat syahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan minum hawa nafsu”.
Naluri binatang-kususnya binatang-binatang tertentu-secara alamiah mengatur jenis, kadar dan waktu makan, serta tidurnya. Naluri manusia tidak demikian, karena manusia memperoleh kebebasan dan ini dapat membahayakah atau paling sedikit menghambat melaksanakan fungsi dan peran yang dituntutnya. Kenyataan menunjukan bahwa manusia yang melebihi kebutuhan jasmaninya, bukan saja menikmati makanan serta minuman dan tidak pernah puas, tetapi juga mengurangi aktivitas dan menjadikan lesu sepanjang hari.
Jika demikian, perlu diadakan latihan-latihan untuk menghindari lepasnya kontrol dorongan naluri fa’ali. Salah satu cara yagn ditempuh oleh agama untuk maksud tersebut adalah berpuasa.
Menurut ahli ilmu jiwa, manusia merasakan kenikmatan tersendiri pada saat ia berhasil memikul beban jasmaniahnya. Inilah dasar pemikiran yang digunakan untuk menafsirkan gejala banyaknya orang yang berpuasa meskipun ia tidak shalat atau bersikerasnya anak untuk berpuasa walau dilarang oleh orang tuanya. Memang kenikmatan ruhani melebihi kenikmatan jasmani, hanya sayangnya banyak orang tidak mengetahuinya karena tidak mencobanya.
Mari kita berpuasa dengan tujuan mengapai mardhotillah hingga kita menemukan dan merasakan titik kenikmatan tersebut dunia dan akherat.amin




Ketika Mata yang Memilih apa yang terjadi..?

Kita tidak boleh menafikan fungsi dan karunia Allah SWT, meskipun itu hanya sebagian. Kebesaran Allah akan semakin kita rasakan dengan menyikapi secara baik apa-apa yang kita dapatkan dariNya.
Fungsi melihat bagi mata, mendengar bagi telinga, meraba bagi kulit, mencium bagi hidung dan fungsi-fungsi lainnya dari organ-organ tubuh yang diberikanNya adalah sangat besar. Ketika kita memaksimalkan kesemuanya itu, dengan sendirinya keyakinan kita akan kebesaran nikmat dan karuniaNya akan bertambah. Hanya saja, ketika kita mendominankan yang satu dan mengecilkan yang lainnya, diri kita pun seakan kerdil dan kecil, bak kurcaci didongeng antah berantah, berbadan kecil dan berhati seadanya. Atau ibarat mahluk yang belum lama ini diketemukan oleh orang yang diyakini sebagai ‘penampakan’ dari Ya’juj dan Ma’juj—yang selama ini masih menjadi teka-teki—berbadan besar dan terus membesar, namun minus jiwa. Buat apa kita hidup berbadan namun tak berjiwa?

Fungsi mata harus dimaksimalkan, demikian juga dengan telinga—tanpa ada niat mengesampingkan organ yang lainnya—, sedianya, mata dan telinga adalah dua organ yang sudah merefresentasikan keberadaan organ-organ tubuh lainnya. Orang bilang, mata akan bertemu dengan otak dan telinga akan kembali kepada saluran hati.
Mungkin inilah pokok permasalahan sebenarnya, ketika kebanyakan orang Indonesia dalam memanfaatkan hak pilihnya hanya bergantung pada kekuatan mata—meski sebenarnya ketika mata disambungkan dengan otak atau rasio, minimal akan menghasilkan sebuah sintesa yang agak memadai, ia agaknya sedikit akan mencukupi kebutuhan nurani—rupanya telah melupakan saluran otak, akhirnya kita melupakan bahwa banyak diantara kita menjerumuskan diri kepada suatu fatamorgana kebohongan dan kebodohan. Bilakah hal ini terus berlanjut?
Kala kita memandang dan mengamati seseorang hanya sebatas visualitas dan mata kita yang kasat, maka yang akan nampak darinya adalah apa yang nampak pada mata kita, kita pun akan memvonis bahwa dia adalah sebagaimana yang kita lihat. Namun ketika kita mengaudio seseorang setelah sebelumnya memvisualkannya, maka penampakan yang muncul dari seseorang itu adalah akan lebih sempurna, atau minimal seimbang antara otak dan hati. Ini penting, karena dalam menilai seseorang, otak tidaklah cukup, itu masih harus diperkuat dengan adanya hati. Dan hati, mempunyai saluran yang bersambung kepada telinga.
Pepatah Arab mengatakan Jarrib wa Laahidz Takun ‘Arifan, ‘cobalah dan perhatikan niscaya kamu akan tahu’. Kata-kata ‘perhatikan’ tadi, membutuhkan dua organ yang sangat esensi, yaitu mata, tetapi sekaligus juga telinga, otak kemudian juga hati. Maka pilihlah dengan hati nurani, bukan hanya rasio, pilihlah dengan telinga, bukan hanya dengan mata.
Dunia akan menemukan sebuah titik kedamaian ketika semua warganya menggunakan telinga dan hati nuraninya dengan sangat proporsional dan tidak hanya memilih apa yang ada dihadapan mata dan di otaknya. Lebih celaka lagi orang yang hanya memilih dengan matanya saja tanpa otak dan rasionya. Apa lagi dengan meninggalkan telinga dan hatinya.
Dan inilah yang terjadi baru ini …
Ketika mata yang memilih …, ketika otak yang berpihak …
Tunggulah kehancuran!!!
Selanjutnya??? … silahkan pilih …, antara kodok atau kadal … atau hati nurani … !!!
Selamat memilih ketua PPIUM dengan otak dan hati nurani, bukan dengan kasat mata yang selanjutnya disetujui dengan otak..Jangan mau kita dibodohi dan diperbudak oleh otak kita.
Himbuan singkat COKET (Calon Ketua) PPIUM 08/09

Rabu, 03 September 2008

Profil Pribadi Muslim

Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah Saw yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Pribadi muslim yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dan sunnah adalah pribadi yang shaleh, pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah Swt.

Persepsi masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda, bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah, padahal itu hanyalah salah satu aspek yang harus lekat pada pribadi seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim.
Bila disederhanakan, sekurang-kurangnya ada sepuluh profil atau ciri khas yang harus lekat pada pribadi muslim.

1. Salimul Aqidah
Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam (QS 6:162).
Karena memiliki aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam da’wahnya kepada para sahabat di Makkah, Rasulullah Saw mengutamakan pembinaan aqidah, iman atau tauhid.

2. Shahihul Ibadah.
Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah satu perintah Rasul Saw yang penting, dalam satu haditsnya; beliau menyatakan: “shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”. Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.

3. Matinul Khuluq.
Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan prilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat.
Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw ditutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman yang artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung (QS 68:4).

4. Qowiyyul Jismi.
Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Mu’min yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah (HR. Muslim).

5. Mutsaqqoful Fikri
Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful fikri) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan Al-Qur’an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berpikir, misalnya firman Allah yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS 2:219).

Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktivitas berpikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Bisa kita bayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu.
Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS 39:9).

6. Mujahadatul Linafsihi.
Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatul linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu.
Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).

7. Harishun Ala Waqtihi.
Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya.
Allah Swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memanaj waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.

8. Munazhzhamun fi Syuunihi.
Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan dikerjakan secara profesional, sehingga apapun yang dikerjakannya, profesionalisme selalu mendapat perhatian darinya. Bersungguh-sungguh, bersemangat dan berkorban, adanya kontinyuitas dan berbasih ilmu pengetahuan merupakan diantara yang mendapat perhatian secara serius dalam menunaikan tugas-tugasnya.

9. Qodirun Alal Kasbi.
Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Kareitu pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al-Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.

Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah Swt, karena rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya memerlukan skill atau ketrampilan.

10. Nafi’un Lighoirihi.
Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Maka jangan sampai seorang muslim adanya tidak menggenapkan dan tidak adanya tidak mengganjilkan. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya.
Dalam kaitan inilah, Rasulullah saw bersabda yang artinya: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Qudhy dari Jabir).

Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing.




Senin, 01 September 2008

PEMIMPIN ADALAH AMANAH

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang dipimpinya. Penguasa adalah pemimpin, maka akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarga, maka akan dimintai maka akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin (rumah tangga suaminya), maka akan dimintai pertanggungjawabannya. Pelayan adalah pemimpin (harta tuannya), maka akan dimintai pertanggungjawaban pengelolaannya. Oleh karena kalian adalah pemimpin, maka kalian akan dimintai pertanggungjawabannya” (HR. Bukhori Muslim).


Pejelasan :

Inti dari hadits ini adalah amanat. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya tidak hanya berlaku untuk segelintir orang, tapi berlaku pula bagi semua orang entah itu kaya atau miskin, pengusa atau rakyat jelata.
Berbicara tentang amanah, kita akan teringat dengan sebuah ayat Al-Qur’an. Ayat itu berbunyi, kami telah tawarkan amanat itu kepada langit, bumi dan gunung,, tetapi mereka enggan memikulnya dan takut daripadanya. Sedang manusia mau memikulnya (QS. Al-Ahzab: 72).

Ibnu katsir menafsirkan kata amanah dalam ayat ini sebagai sebuah taklif atau pembebanan hukum atau undang-undang, serta pengaturan dan pelaksanaanya. Amanah berarti menerima taklif tersebut dengan jalan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dengan segala konsekwensinya. Jika ia dilaksanakan maka akan mendapatkan pahala, tapi bila ditinggalkan akan berbuah siksa.

***
Pada hakikatnya, semuanya yang ada dimuka bumi ini adalah amanah yang diberikan Allah SWT kepada manusia, baik itu dalam skala luas maupun skala sempit. Dalam skala luas, manusia adalah kholifah; pempin yang menjadi “wakil” Allah di bumi. Ia diwajibkan mengolah bumi beserta isinya secara baik dan sesuai dengan aturan dari yang memberi tugas kepemimpinan tersebut.

Dalam skala yang lebih kecil, setiap manusia memiliki amanat yang beragam. Bila seorang pemimpin, maka ia harus dapat mempertanggungjawabkan amanah kepemimpinan tersebut dihadapan Allah dan orang-orang yang memilihnya. Begitu pula bila ia seorang suami, istri ataupun seorang pembantu. Mau tidak mau ia harus bisa mempertanggungjawabkan apa-apa yang telah diamanahkan kepadanya.

Diri kita beserta segenap entitas yang membentuknya termasuk pula amanah yang harus dijaga sebaik mungkin. Semiskin apapun kita, kalau berbicara masalah amanat dan kepemimpinan, kita masih dianggap seorang pemimpin. Kita adalah pemimpin kita sendiri. Kita akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang kita pimpin. Mata kita gunakan untuk melihat apa ? telinga kita gunakan untuk mendengar apa ? lisan kita gunakan untuk berkata apa ? begitu pula dengan akal, pikiran, hati dan organ-organ tubuh lainnya, semuanya adalah “anak buah” yang harus kita pimpin dan kita gunakan sesuai dengan fungsi penciptaannya.

Jelas, ketidak mampuan kita menjaga dan memelihara amanah tersebut akan berbuah penyesalan. Menyia-nyiakan sama artinya menentang perintah Allah (Liat QS. 2: 283; 4: 57; 8: 27). Bahkan Rosulullah akan mencap orang yang tidak mampu menjaga amanah sebagai orang yang kurang iman, bahkan tidak beriman. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu umar, beliau mengatakan, “tidak sempurna iman seseorang yang tidak memegang amanah”. Sebaliknya, bila kita mampu memimpin dan menjaganya dengan baik, maka Allah mangangkat kita menjadi pewaris surga firdaus. Allah SWT berfirman, Mereka yang suka menjaga dan memelihara amanat dan janjinya, mereka itulah yang menjadi pewaris surga Firdaus. Mereka kekal didalamnya (QS, Ai-Mu’minun: 8-11)

Biodata

Muhammad Syamsuri Abdul Faqir Jalaluddin Ar-Rumy Adalah Mahasiswa Postgraduate (Pasca Sarjana) di sebuah perguruan tinggi Malaysia yang tepatnya di tengah kota Kualalumpur "Universiti Malaya" sampai saat ini ia tercatat sebagai Mahasiswa Economic of Islamic Studies di Akademi Pengajian Islam.adapun latar belakang saya adalah sebagai berikut:

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN :
2008-Sekarang :University Malaysia ( UM )
Master of Islamic Study (Economic of Syari'ah)
2002-2006 :Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor
Fakultas Syari’ah jurusan Menejemen Lembaga Keuangan Islam
1998-2001 :KMI Darussalam Gontor Ponorogo
1995-1998 :SMA Pas Pampangan OKI Palembang (belum selesai)
1992-1995 :SMPN 2 Air Sugihan OKI Palembang
1986-1992 :SDN 1 Sukamulya Air Sugihan OKI Palembang
1985-1986 :TK Aisyah Mantup Sragen Jawa Tengah

PENGALAMAN ORGANISASI
1993-1994 :Ketua Umum bidang Keagamaan OSIS SMPN 2 Air Sugihan OKI Palembang
1999-2000 :Ketua Bagian Keamanan Asrama Saudi 3 lantai 2 Pondok Modern ( OPPM ) Darussalam Gontor
2000-2001 :Ketua Bagian Dapur Organisasi Pelajar Pondok Modern
( OPPM ) Darussalam Gontor
2001-2002 :Staff Administrasi Pondok Modern Gontor 5 Banyuwangi Jawa Timur Indonesia
2002-2004 :Staff Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur Indonesia Bagian Bendahara dan Pertanahan.
2003-2004 :Ketua Devisi Sepak Bola Mahasiswa ISID Gontor Ponorogo
2004 :Ketua Workshop Advokasi Syari’ah ISID Gontor
2004-2005 :Staf Harian Dewan Mahasiswa ISID Gontor Ponorogo Bagian Bendahara
2005 :Koordinator Alumni 2001 di Pondok Modern Gontor Ponorogo
2005 :Pendiri Taman Pendidikan Al-Qur'an di Pondok Modern Gontor 5 Banyuwangi
2005-2006 :Ketua Staf Guidance and Counseling Pondok Modern Gontor 5 Banyuwangi Jawa Timur
2006-2007 :Ketua Distributor Center Pondok Modern Gontor 5 Banyuwangi Jawa Timur Indonesia.
2007 - 2008 :Head Master Advisory Council Afternoon Lesson Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia (Direktur Pelajaran Sore di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo).
2008-sekarang : Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia di Universitas Malaya (PPI-UM) di Malaysia Kuala Lumpur.

PENGALAMAN PENGABDIAN
2001-2007 :Guru Kulliyatul Mu’allimin al Islamiyyah (KMI) Gontor Indonesia
2003-2004 :Staff Yayasan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Indonesia
2004-2005 :Staf Harian BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Institut Studi Islam Darussalam Gontor Ponorogo Indonesia

RESEARCH / BOOK
•Consep of Insurance social in islamic Economic Prespective
( نظرية التأمين الإجتماعي في الإقتصاد الإسلام)

•Valentine day dalam pandangan Islam (Buletin Iqro’-edisi 8/2004
•Menjaga kesucian hati (Buletin Pusaka/2004
•Hakekat malu (Buletin Islam Madina-edisi 11/2005)
•Menejemen Islam sebuah terapan pada Lembaga Pendidikan Pesantren (makalah Orientasi OPPM Banyuwangi/2006)
•Ekstrim dalam Ibadah (Buletin Dakwah PERMADA/2003)
•Tulisan-tulisan yang lain bisa menkunjungi diblogspot.
View my complete | profile


KUALIFIKASI PEMIMPIN GONTOR

Ikhlas
Amanah
Jujur dan Terbuka
Tegas
Mau berkorban
Bekerja keras dan sungguh-sungguh
Memiliki kemampuan berkomunikasi
Menguasai masalah dan dapat menyelesaikannya
Membuat network dan memanfaatkannya
Selalu mengambil inisiatif
Mempunyai nyali besar dan berani mengambil resiko
Baik bermu’amalah ma’a Allah dan ma’a nnaas.

RAMADHAN KARIM

Hari berlalu, bulan pun berganti. Tanpa terasa, Ramadhan tahun ini (1429 H) menyapa lagi. Kehangatan suasana Ramadhan tahun lalu masih terasa mengigau dalam ingatan. Gemuruh pawai tarhib puasa tahun silam masih mengiang dalam pendengaran. Semua itu berjalan dibawah alam sadar dalam pusaran waktu yang mutlak berganti. Ramadhan tahun silam (1428.H) tenggelam dalam kenangan. Ia menjadi suatu yang paling jauh, bahkan menjauh menuju sirna, karena masa lalu tak mungkin akan hadir lagi di masa datang. Lalu Ramadhan tahun ini menjadi nuansa yang paling dekat, karena ia hanya menunggu giliran waktu untuk dijalani.

Ungkapan alhamdulillah atas kehadiran Ramadhan tahun ini sungguh sangat layak diucapkan, karena ia masih `bermurah hati' kepada pencintanya untuk bersua. Bulan yang penuh barokah ini selalu menghadirkan suasana cinta bagi perindunya. Sapaan akrab Ramadhan senantiasa hangat menghidupkan jiwa. Bahkan menyinari ruang qalbu yang sebelas bulan lalu digelapkan oleh kenistaan fatamorgana dunia. Hamparan permadani Ramadhan terbentang dengan melipatgandakan ganjaran bagi hamba yang beramal-ibadah. Setiap waktu dalam bulan ini selalu menyediakan hadiah yang tak terhitung harganya. Hadiah itu sudah tersedia dan teruntuk bagi kaum muslimin yang menjalankan ibadah puasa. Harga hadiah Ramadhan tak mampu dirincikan dengan angka, tak mungkin dieja ucapan huruf, karena semua terangkum dalam ampunan, rahrnat dan pembebasan dari neraka. (awwaluhu rahmah, wa aushathuhu rnaghfirah wa akhiruhu `itq min al-nar).
Riuh kehadiran Ramadhan menggema lagi. Sambutan hangat atas kedatangannya menjadi warna tersendiri bagi Ramadhan. Tidak seperti bulan-bulan yang lain, bulan Ramadhan memiliki nilai "sakral" yang tak dijumpai dalam bulan hijriyah selainnya. Kesakralan Ramadhan selain karena termaktub dalam dalam kitab suci al-Qur'an, juga nilai ibadah yang diterkandung di dalamnya memiliki efek yang multi dimensi. Tidak hanya untuk hubungan vertikal tapi juga sosial. Dengan demikian, sangat-lah wajar jika baginda nabi Muahammad saw pernah bersabda "siapa saja yang bergembira dengan masuknya bulan ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya dari api neraka".
Jika ditilik dari pengertian etimologinya, Ramadhan berasal dari kata Ra-mi­dha. Dalam kamus al-Munjid, Ramidha atau Ramdha' memiliki makna syadid al-har (sangat panas, terik). Nampaknya, keagungan Ramadhan tidak digemakan dari makna etimologinya saja, akan tetapi juga pada makna substantifnya. Nama Ramadhan selain menunjukkan kondisi alam yang ada di lingkungan sahara Arab yang terbiasa berhias terik dan panas, juga melambangkan sebuah tantangan dahsyat bagi para pelaksana ibadah puasa (al-shoimun). Selain itu, dari namanya, ada sebagian ulama yang harus menginterpretasi kata ramadhan dengan huruf per-huruf yang semuanya memiliki makna. Menurut tafsir filosofis ini, kata ramadhan terdiri dari lima huruf yaitu: Pertama, ra yang berarti rahmah (kasih sayang). Kedua, mim, yaitu maghfirah (ampunan). Ketiga, dha, yang bermakna dhaman lil jannah (jaminan surga). Keempat, alif yang berarti aman min al-nar (selamat dari neraka). Kelima, nun, yang berarti nut. min al-Allah (cahaya dari Allah). Dan sisi teoritik ilmiahnya agak sulit membenarkan pendapat ini, namun jika dikontemplasikan sejenak, kesemua huruf tadi memiliki makna yang mencerminkan kandungan dan keagungan Ramadhan.
Nilai keagungan Ramadhan menggema-diantaranya-karena di dalamnya terdapat ibadah puasa. Suatu ibadah yang berlandaskan legitimitas kitab suci yang pernah ada bagi seluruh umat beragama. Dalam Islam, ibadah puasa telah
diperintahkan oleh Allah swt dalam kitab suci-Nya. Allah berfirman yang artinya: "wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa seperti juga yang telah diwjibkan kepada umat sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertaqwa. (QS.A1-Baqarah [2j.183). Awalnya, perintah puasa Ramadhan "terinspirasi" dan ibadah puasa asyura yang di lakukan oleh kuam Yahudi Madinah. Menurut Abd Fatah Husni al-Syeikh dalam bukunya Fiqh al-Ibadat, ketika Rasulullah saw datang ke kota Madinah al-Munawwaroh, beliau menyaksikan kaum Yahudi berpuasa asyura. Beliau bergeming dan menyatakan bahwa kaum muslimin lebih awla (berhak) atas puasa itu, lalu diwajibkanlah bagi umat Muhammad saw melaksanakannya. Namun, pada tahun berikutnya, tepatnya pada hari Senin tanggal dua Sya'ban tahun kedua hijriah, puasa Ramadhan diwajibkan kepada umat Islam menggantikan puasa asyura yang mereka kerjakan.
Dan sinilah perintah puasa Ramadhan bertolak. Suatu titah ilahi untuk menyucikan diri, penempa kader militan dalam memperjuangkan agama suci. Bulan penaklukan ego yang selalu menghegemoni syahwat dan birahi. Bulan kemenangan dalam segala bentuk perjuangan. Bulan yang akan memberi sebuah gelar kehormatan "taqwa" bagi pencintanya. Gelar tertinggi yang berhak diraih oleh siapapun. Sebuah gelar anugerah yang membuka kesempatan bagi setiap hamba untuk merebutnya. Sayyid Qutb dalam tafsir monumentalnya Fi Zilal al-Qur'an, menuliskan bahwa orientasi agung dari puasa itu adalah taqwa. Ketaqwaanlah yang membangkitkan hati, sehingga bisa dan mampu melaksanakan kewajiban puasa. Taqwa juga yang menjaga hati dari kemaksiatan yang merusak puasa. Taqwa manjadi tujuan akhir dari jiwa dan puasa merupakan jalan menujunya. Inilah ungkapan indah al-Qur'an dengan kalimat 'la 'allakum tattaqun' (agar kamu menjadi orang yang bertaqwa).
Ibadah puasa menjadi titian menuju dermaga taqwa. Ketaqwaan merupakan jelmaan dari bentuk pengakuan akan status kehambaan seorang manusia kepada Tuhan. Ketaqwaan merupakan pakaian dan keimanan, karena iman tidak akan memiliki nilai, bobot dan makna apapun jika tidak ditutupi dengan busana taqwa. Disinilah tepatnya ungkapan al-iman `uryan walibasuhu al-taqwa (iman itu telajang dan busananya adalah taqwa). Dengan demikian para ulama mendefinisikan taqwa menjadi kepatuhan dan menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Puasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari taqwa yang terakumulasi dari terjemahan titah transcendental Tuhan. Secara lughawi, puasa (al-shaum) memiliki arti al-imsak (menahan). Pengertian spesifiknya (ishtilah) adalah, menahan diri dari makan dan minum dan segala yang membatalkan puasa dari mulai terbit fajar hingga tenggelamnya mentari. Ini artinya, berpuasa adalah usaha menahan diri prilaku konsumtif yang terlambangkan oleh perut dan tenggorokan. Puasa adalah pengendalian diri sikap hedonistic dan berlebihan yang tersimbol dari keinginan nafsu yang tidak bermuara. Adalah maklum bahwa segala keinginan perut jelas tak mungkin untuk dibatasi, karena Rasul sendiri sudah menganalogikan perut dengan bumi. Jika bumi menerima segala apapun yang tertumpah di atasnya, maka perut juga menampung apa Baja yang dimasukkan kedalamnya. Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam bukunya Minhaj al- Abidin menulis perumpamaan yang indah tentang urgensi mengendalikan perut. Al-Ghazali mengulas ungkapan teks hadits yang disabdakan Rasul "jangan matikan hatimu dengan banyak mengkonsumsi makanan dan minuman, karena hati akan mati seperti tanaman yang mati karena kebanyakan air siraman. Dari sabda Rasul ini, para sholihin (orang-orang saleh) mengumpamakan lambung seperti kuali yang berada di bawah hati. Kuali itu selalu mendidih dan asapnya menerpa hati. Jika kebanyakan asap yang menyelimuti hati, maka is akan mengeruh dan menghitam. Jika hati selalu keruh dan hitam, maka kejahatan menjadi sejolinya. Syahwat duniawi menutupi gumpalan hati hingga mematikan nurani.Tamsilan al-Gazali ini di atas agaknya masih layak untuk direnungkan, karena di sinilah letak pesan penting dari puasa yang menegaskan pengendalian, perhitungan dan kerendahan hati. Sungguh ibadah puasa merupakan kemuliaan sekaligus penghargaan Tuhan kepada makhluk-Nya yang bernama manusia. Dengan ibadah puasa, manusia mampu menghidupkan hatinya. Jika hatinya bersih maka jiwanya selalu hidup. Bukankah penghargaan Tuhan atas sebutan manusia itu karena hatinya? Dan hati juga bahasa lain dari jiwa (ruh) dan akal. Ramadhan Karim. Ramadhan memang mulia!