Dalam perspektif antropologi Qur’ani, manusia memiliki kejiwaan yang lebih, lemah dan mudah sekali goyah (QS: 70: 19-41). Ketika curahan rahmat datang, rasa bangga menyelimuti diri, tetapi jika yang datang sebaliknya, maka ia gundah, gelisah, serta berkeluh kesah menjadi kebiasaan. Marah yang tak terkontrol, emosi yang tak terkendali menjadi nikotin hati dan fikiran. Tak ada kesadaran berfikir bahwa Allah munculkan berbagai persoalan hidup yang terkadang membuat pusing, bahkan melelahkan hanya untuk menguji stabilitas psikologis seseorang (QS: 21; 35). Hal inilah yang harus dipahami sebagai philosophy of life setiap orang sehingga muncul kesadaran yang menghasilkan introspeksi total pada setiap individu.
Di zaman modern akal dan fikiran dijadikan Tuhan baru dalam membangun kekuatan diri untuk menyikapi semua problem, yang kemudian segala sesuatu dipandang secara emosional. Namun kegersangan hati dibiarkan terbengkalai. Ada yang terlupakan bahwa hati adalah standar ukuran dalam menilai dan memandang persolan hidup. Islam memberikan arahan bahwa ukuran baik dan buruknya sesuatu dikembalikan pada hati. Bisa dikatakan bahwa hati adalah tempat pengolahan. Hati tak dapat dibohongi walaupun dunia punya persepsi lain tentang suatu permasalahan, tetapi hati punya konsep kejujuran yang tak bisa dipungkiri. Hati akan mengembalikan rasa percaya diri setiap invidu. Hati juaga berfungsi sebagai pengontrol fikiran. Kebenaran hati akan mengenalkan manusia pada hakekat diri secara utuh dengan Sang Rabb yang Maha Tinggi.
Dalam bahasa sufi, mengenal diri hakekatnya adalah proses mengenal Tuhan. Manusia wajib mengetahui penciptanya yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Pencipta yang selalu menginginkan kebaikan pada hambaNya, pencipta yang hanya kepadaNya seorang hamba menyembah dan hanya kepadaNya dia memohon pertolongan.”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu “ (Adz–Dzariyat : 51 : 56 ) Dan dalam waktu yang sama dia juga harus mengenali dirinya sendiri, memupuk keyakinan akan kemampuan pribadi yang telah diberikan Allah subhanahu wa ta’ala, seperti yang selalu disuarakan Al-Qur’an saat menyatakan bahwa :
1. Manusia adalah makhluk yang paling mulia (Al-Isra’;70)
2. Alam semesta raya diciptakan untuk keperluan hidup manusia (Al-Jasyiyah:12)
3. Diri manusia adalah makhluk yang diciptakan dalam bentuk yang sempurna (At-Tiin: 4)
4. Manusia diciptakan dari fitrah yang suci (Ar-ruum: 30) (lihat juga As-Syam: 9, tentang kebebasan hak)
5. Manusia adalah penentu masa depannya dan dia bertanggungjawab penuh atas segala perbuatannya (Al-Faatir:18)
6. Di atas segalanya manusia adalah khalifah Allah dimuka bumi (Al-baqarah: 30, Al-An’am :165)
Percaya diri (self confident) hanya bisa dibangun dengan kejernihan hati dan pemahaman terhadap Al-Qur’an secara komprehensif dan mengintegral dalam diri. Karena ia adalah undang-undang universal dalam hidup yang diberikan oleh Rabb yang Maha ‘Azhiim. Dalam sejarah kehidupan Nabi, ia selalu menggunakan metode Qur’ani, yang mampu memberikan kedamaian hati yang abadi. Ketika salah seorang sahabat datang kepada Nabi, lalu Nabi menceritakan ihwal neraka, azab Tuhan, sahabat itu lalu merasakan penyesalan dan ingat akan dosa-dosa yang telah ia perbuat. Ada kebimbangan dalam diri akan semua perbuatan yang telah ia perbuat. Namun ketika sahabat itu meninggalkan Nabi lalu ia lupa semuanya dan kembali seperti semula, kemudian ia bertemu dengan sahabat lain lalu diceritakan ihwal dirinya tersebut, sahabat ini pun menjawab sama. Kemudian keduanya datang kepada Nabi, lalu Nabi menjawab sa’atan 3x. dalam misykaatul mashaabih (Shahih Bukhori ) sa’atan itu berarti sekali dalam kebaikan dan sekali-kali tidak.
Ada pemahaman bahwa Nabi betul-betul memahami persoalan hidup yang penuh godaan. Untuk memiliki ketetapan hati yang penuh akan sangat sulit karena hati tidak tetap. Sesuai dengan namanya yang dalam bahasa arab disebut qalbun yang secara etimologi bisa berpaling atau berbalik atau tidak tetap. Jadi terapi yang paling pas untuk membangun percaya diri hanyalah kembali kepada suara hati nurani dan konsep Al-Quran agar ketenangan selalu menyertai hidup. Sesungguhnya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang. Ketenangan diri akan membawa kita untuk berfikir lebih jernih. Maka ketika itu pula seluruh tingkah laku akan lebih terkontrol. Kita mulai merasakan adanya reformasi besar dalam diri, semangat pun muncul untuk membuat prestasi. Ketika itulah kekuatan diri yang se-sungguhnya
0 komentar:
Posting Komentar