Selasa, 05 Agustus 2008

Mari kita mencoba ISTIQOMAH

Dalam kehidupan keseharian, penggunaan istilah “istiqomah” seringkali kurang proporsional. Dapat dikatakan pemahamannya seringkali terlalu sederhana, sehingga jika ada seseorang yang terus mempertahankan satu perbuatan atau amalan tertentu maka ia langsung disebut “istiqomah”. Padahal bisa jadi itu sebuah amalan bid’ah atau bahkan menyentuh kesyirikan. Terkait dengan kedua hal tersebut penggunaan kata “istiqomah” tidak berlaku.
“istiqomah” adalah istilah keagamaan yang berkonotasi pada kemuliaan dan keagungan yang tinggi serta memiliki sebuah nilai keutamaan yang besar dalam ajaran Islam.

Sedimikian besarnya, sehingga Allah SWT menganugerahkan penghargaan spesial dan memberikan jaminan yang luar biasa bagi mereka yang mampu beristiqomah, sebagaimana Allah SWT menegaskan;

إِنَّ الَّذِيْنَ قاَلُوْا رَبُّناَ اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلاَ تَخَافُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُتْنُمْ تُوْعَدُوْنَ {فصلت:30}.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka istiqomah, maka malaikat akan turun kepada mereka(dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) Surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QR. Fushilat: 30).

Lebih tegas lagi, kepastian itu dijanjikan oleh Allah sendiri dalam Al-Qur’an;

إِنَّ الَّذِيْنَ قاَلُوْا رَبُّناَ اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنََ {الأحقاف:13}.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah’, kemudian mereka beristiqomah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita (QS. Al-Ahqaf: 13).

Kiranya sangat terkesan sederhana bahwa orang yang mengatakan, “Tuhanku adalah Allah” kemudian ia istiqomah, maka dia akan terbebas dari rasa takut dan sedih. Representasi hakiki dari tiadanya rasa takut dan sedih itu adalah Surga, sebuah negeri kedamaian yang abadi. Sedangkan di dunia manusia menemukan ketentraman dan kebahagiaan batiniah yang bisa menjamin ketangguhan dalam menghadapi tantangan hidup di dalamnya.
Apakah semudah itu? Apakah anugrah yang demikian besar bisa dicapai dengan pernyataan yang terkesan sederhana itu? Dalam kehidupan ini tentu saja tidak sesuatupun yang berharga namun bernilai murah. Demikian pula untuk menggapai ketentraman hidup yang nantinya berpuncak di Surga, tentu juga ini bernilai sangat mahal. Namun pernyataan ini, tidak sekedar pernyataan yang meluncur dari lisan dengan begitu mudah. Istiqomah mensyaratkan pemahaman, menepatinya dengan menuntaskan segala konsekuensinya, kemudian berkomitmen untuk mempertahankan ketulusan dan menjauhkannya dari segala bentuk lumuran sekecil apapun yang akan menodainya.
Apa yang dimaksud dengan istiqomah? Apa yang menjadikannya sebagai satu-satunya jalan dan obat utama untuk segala macam penyakit dan permasalahan kita?
‘Istiqomah’ secara etimologi berasal dari kata qowama yang berarti lurus atau tegak.
إِنَّ الََذِيْنَ قَالُوْا رَبُّناَ اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka beristiqomah”.
Makn استقاموا pada ayat diatas merujuk kepada mereka yang menjalankan ketaatan kepada-Nya dan konsisten dengan sunnah Nabi-Nya. Dalam hadits disebutkan,
قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
“katakanlah: aku beriman kepada Allah kemudian ber-istiqomah-lah”.
Maksudnya adalah ber-istiqomah di dalam amal shaleh, dengan mengerjakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangannya.
Istiqomah adalah kebalikan dari “انحراف” yang berarti penyimpangan/berpaling. Makna ini cukup jelas, bahkan bagi orang awam sekalipun. Jika mereka melihat seseorang berpegang teguh dengan agamanya, menjaga serta memperhatikan perintah-perintah-Nya, maka mereka akan mengatakan kepada orang tersebut, bahwa dia itu adalah “mustaqim”, orang yang istiqomah. Terkadang pengertian istiqomah berkurang dari yang sebenarnya. Disebutkan bahwa istiqomah berada di dalam hal-hal yang sifatnya materi, etika dan sosial. Sebaliknya hal-hal yang sifatnya agama dikesampingkan, padahal inilah pengertian dasar dari istiqomah.

Cara menempuh perjalanan istiqomah
Kadang-kadang kita bersemangat dan muncul dari dalam diri kita kemampuan yang kuat untuk melaksanakan perjalanan ini, tetapi kita merasa bahwa diri kita masih terikat dengan banyak kemaksiatan. Di sinilah kesempatan emas bagi setan untuk mengendurkan semangat kita. Salah satu kilahnya adalah rasa putus asa dari rahmat Allah. Firman-Nya;
قُلْ يَاعِباَدِيَ الَّذِيْنَ أَسْرَفُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوْا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا {الزمر:53}.
“katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya”. (QS. Az-Zumar: 53).
Di antara godaannya adalah dengan menghembuskan bisikan, “Anda adalah pelaku dosa-dosa besar dan gemar bermaksiat, maka tak mungkin sedekah, shalat dan zakat anda diterima, sementara kebiasaan anda seperti ini?”
Godaan ini dihembuskan untuk menggrogoti tekad kita. Bantahan yang tepat untuk menangkis godaan ini adalah dengan menegaskan tekad, “Iblis telah menyesatkan kita dengan melakukan maksiat dan dosa pada kesempatan yang telah lewat, maka akankah kita meninggalkan amal kebajikan dan memberinya kesempatan untuk menyesatkan kita lagi pada kesempatan berikutnya? “Sesungguhnya orang-orang berakal akan mengatakan, “Sekalipun tidak akan”. Mereka meyakini bahwa para pengikut setan akan benar-benar merugi.
Pada kesempatan ini akan disebutkan cara menempuh perjalanan istiqomah melalui dua cara:
Pertama, pemutusan total; dalam artian, memutuskan segala bentuk hubungan dengan setan atau yang cenderung dengannya dengan sekali tebas. Ini seakan-akan kita memotong bagian tubuh kita yang rusak. Jika dibiarkan saja maka bagian tubuh lainnya akan rusak juga. Sebagai contoh sere ini kita adalah pelaku maksiat, maka besok pagi kita telah berubah menjadi seorang ahli ibadah yang taat dan suci dari maksiat dan dosa. Itulah taubat nashuha. Kita memulainya dengan niat tulus dan tekad bulat, dilanjutkan dengan tawakkal dan memohon pertolongan kepada Allah, kemudian wudhu dan shalat Subuh berjama’ah.
Setelah itu, seiring dengan datangnya pagi; kita membuka lembaran baru yagn sangat putih dan dan melipat, bahkan membakar lembaran yang busuk dari kehidupan kita. Inilah cara para pemilik cita-cita yang tinggi dan jiwa yang agung, dan mereka berhak atas kemenangan yang sangat mahal. Sesungguhya kemenangan terhadap hawa nafsu adalah bagian dari jihad. Jika tidak lebih besar dari jihad melawan oragnga kafir, maka tidak jauh dari itu. Disebutkan dalam musnad Imam Ahmad, dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah SAW bersabda;
مُنْتَظِرُ الصَّلاَةِ مِنْ بَعْدِ الصَّلاَةِ كَفَارِسِ اشْتَدَّ بِهِ فَرَسَهُ فيِ سَبِيْلِ اللهِ كَشْحِهِ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَلاَئِكَةُ اللهِ مَالَمْ يُحْدِثْ أَوْ يَقُوْمُ، وَهُوَ فيِ الرِّبَاطِ اْلأَكْبَرِ.
“Orang yang menunggu shalat setelah shalat, bagaikan penunggang kuda yang sangat enerjik atas musuh-musuhnya di dalam jihad fi sabilillah sedangkan para malaikat Allah mendo’akannya selama tidak batal (wudhunya) atau bangkit (dari tempatnya)
Jihad melawan hawa nafsu adalah modal dasar untuk berjihad melawan orang-orang kafir dan munafik. Karena tidak mungkin bisa memerangi mereka tanpa memerangi hawa nafsunya terlebih dahulu, baru kemudian bisa berangkat menghadapi mereka.
Kedua, berangsur-angsur. Dalam hal ini alangkah baiknya kita melakukan bermuhasabah diri dari segala apa yang telah kita lakukan; dengan menulisnya dalam buku harian kita mulai dari dosa-dosa besar kemudian yang kecil. Melalui cara ini, maka segala perbuatan kita akan lebih mudah terkontrol. Insya Allah!
Yang terpenting dalam hal ini adalah:
1. Memohon kepada Allah SWT (setelah bertekad untuk bertaubat) agar memanjangkan umur kita, sehingga kita dapat mensucikan diri dari semua maksiat dan dosa yang kita akui di hadapan Allah. Memperbanyak do’a di setiap waktu tentunya lebih baik, khususnya pada waktu-waktu dikabulkannya do’a.
2. Memulai meninggalkan dosa besar kemudian dosa kecil dibarengi dengan ketekunan dalam shalat berjama’ah di masjid pada awal waktunya. Jangan sampai gara-gara TV, rokok dll. Kita enggan untuk shalat berjama’ah. Allah berfirman;
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ واَلْمُنْكَرِ {العنكبوت: 45}.
“Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar” (QR. Al-Ankabut: 45).
“Shalat dan duduk bersama orang shaleh” merupakan faktor terpenting yang membantu kita pada fase persiapan perjalanan ini, sehingga taubat kita menjadi tebal dan –dengan izin Allah- kita akan menang dalam perjalanan melawan musuh kita, hawa nafsu.
Penghalang-Penghalang Perjalanan dalam Menempuh Istiqomah
Pertama, Setan. Ketika makhluk ini mengetahui keinginan kita untuk melepaskan diri dari jalannya dan memilih jala yang baik, maka dia berteriak kepada para pendukung dan pengikut dari bangsa jin dan manusia untuk mengobarkan semua kekuatan. Terkadang dengan cara membujuk untuk mengendorkan semangat kita. Bahkan dengan cara tanpa kita rasakan yaitu bisikannya yang halus; “nanti dulu”. Segala cara yang dalam pandangannya bisa berhasil menggagalkan tekad kita pasti akan dia pergunakan.
Kedua, Hawa. Ditilik dari dari segi terminologinya berarti kecenderungan kepada keinginan jiwa yang menyuruh pada kejelekan dengan mengerjakan maksiat, kemungkaran dan enggan untuk berbuat ketaatan. Kita pun dituntut untuk patuh pada perintah hawa, dan dia akan membawa kita sesuka dirinya. Dia memotori serta mengontrol tingkah laku kita agar sesuai dengan keinginannya yang selalu menyuruh pada kejelekan. Telah banyak korban berjatuhan hancur binasa karena hawa tersebut. Betapa banyak orang yang mati secara su’ul khatimah. Kita memohon kepada Allah pada Akhir nanti, mati secara husnul khatimah yang merupakan buah dari melepaskan diri dari hawa nafsu dan para pengikutnya.
Ketiga, Teman Yang buruk perangainya. Nabi Muhammad SAW. Telah mengumpamakan teman bergaul yang jahat bagaikan tukang pandai besi. Dalam haditsnya disebutkan;
مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيْسِ السُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يَحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً وَناَفِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يَحْرِقَ يِثَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا خَبِيْثَةً (رواه البخاري والمسلم).
“perumpamaan teman bergaul yang baik dan teman bergaul yang jahat adalah seperti penjual minyak kasturi dan tukang pandai besi. Penjual minyak wangi bisa saja membei minyak atau kamu mendapatkan percikannya atau mendapat bau enak darinya. Adapun tukang pandai besi bisa saja membakar baju kamu atau kamu akan mencium bau tak sedap darinya.”
Tiga musuh itu (setan, hawa nafsu dan teman yang buruk perangainya) telah bersumpah setia dalam satu ikatan dan saling mendukung untuk mencapai tujuan mereka bersama. Orang yang berilmu akan pasti sadar akan hal ini. Adapun orang yang diberi akal tapi tidak berpikir, diberi hati tapi tidak memahami, diberi mata tapi tidak melihat dan diberi telinga tapi tidak mendengar, maka keadaan semacam ini telah dikuasai oleh hawa nafsu. Lantas apa bedanya dengan binatang, bahkan lebih hina dari padanya. “ Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang lalai.” (QR. Al-A’raf: 179).
Akhirnya,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ وَعلَى طَاعَتِكَ.
Wahai Dzat yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hati kami dalam agama dan ketaatan kepada-Mu. Amin.




0 komentar:

Posting Komentar