Dinar Adalah Emas
Dan Emas Bukan Dinar
Dinar adalah mata uang yang terbuat dari emas murni. Banyak orang, akhir-akhir ini terutama, berbondong-bondong menjual aset mereka, melepas uang kertasnya, bahkan berutang ke bank untuk membeli emas atau dinar, karena harga emas melambung tinggi dalam tempo cepat. Apakah motivasinya masyarakat apada umumnya adalah :
Untuk menyelamatkan aset dan kekayaan (para analis memberikan banyak sekali catatan betapa emas adalah safe haven terbaik untuk lindung nilai dan seterusnya) atau untuk mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga emas terhadap rupiah, sehingga meningkatkan daya beli atau keuntungan-rupiah.
Betul dalam jangka pendek emas mengalami volatilitas "harga", tapi kenyataan grafik menunjukkan kenaikan harga emas bersifat "konstan" sebagai refleksi menurunnya nilai tukar rupiah atau uang kertas lainnya terhadap komoditas. Dan sedikit mengejutkan grafik beberapa hari terakhir ini. Pembeli atau penukar dinar, seperti pembeli emas, juga berharap pada dua motivasi itu di atas. Mungkin ada motivasi ketiga dan seterusnya, teman-teman bisa lanjutkan.
Tetapi emas bukanlah dinar. Dinar diukur dengan mitsqal (dalam sejarah
Accadean 3000 SM disebut seqel atau Yahudi menyebutnya shekel), artinya ia
memiliki standar dan diukur berdasarkan berat dan kadar tertentu [artinya Dinar
tidak diukur berdasar nominal yang tercantum dalam uang kertas apakah itu
dollar ataupun euro, tapi diukurkan kepada berat dan kadar]. Dinar sendiri
adalah nama yang diberikan Allah sebagai mata uang historis sejak masa nabi
Adam as. Otomatis dinar adalah mata uang dengan satuan tertentu.
Oleh karenanya dengan dinar kita bisa pergi ke pasar untuk bertransaksi,
tapi tidak dengan emas. Hari ini kita mungkin memegang dinar dan masih memegang
uang kertas, pastilah "sayang" melepas dinar untuk berbelanja
(sebagai alat tukar). Tapi ketika kepercayaan kita akan uang kertas pupus, kita
semua tidak memiliki sedikitpun uang kertas, yang kita miliki adalah emas dan
dinar, maka otomatis emas juga tidak berguna kecuali sebagai komoditas yang
bisa dijual. Atau, jika tidak demikian bisa menjadi alat barter sukarela.
Tetapi alat barter bukanlah "uang". Bahkanpun saya keras mengatakan,
"adalah bodoh jika kita melepas emas kita kepada uang kertas dalam keadaan
begini, kecuali amat sangat terpaksa. Memulai untuk "mengukur" dinar
adalah titik awal untuk menuai kebaikan dinar yang mudah dipindahtangankan
dalam sirkulasi dan transaksi.
Keengganan orang "membeli" dinar di tengah kecamuk meroketnya
harga emas dan cenderung memilih emas (batangan) adalah karena: 1. Adanya dinar
yang "tidak murni" sehingga harga jualnya jatuh 2. Bersifat transaksi
terbatas, hanya berlaku bagi atau pada kelompok tertentu 3. Pemahaman atau
sumber yang keliru tentang apa itu dinar 4. Ongkos cetak dan handling.
Tentu solusinya juga bukan satu-satu seperti (1) dinar dengan emas murni (2)
open transaction, menerima-diterima terbuka (3) ongkos cetak yang efisien,
mungkin lebih kompleks dari itu terutama dikembalikan kepada niat tulus dari
semua pihak.
Betapa saya mirisnya ada seorang pejuang nan idealis memilih membeli
emas batangan daripada dinar. Ketika saya sampaikan bahwa itu
"kurang" karena "lebih baik" dalam bentuk dinar, ia
menjawab:
1.Untuk apa saya pegang dinar tidak murni kalo saya ke pegadaian hanya dihargai 90% saja atau kurang? [sebagian besar dinar yang beredar saat ini adalah 91.7% emas].
2.Ketika saya katakan dengan dinar bisa untuk "berbelanja" ia
membalas, "untuk apa kalo hanya ke toko-toko atau kelompoknya dia saja dan
dia tidak mau menerima dinar "yang lain", dan jumlah merchant yang
terbatas?.
3.Dan yang memberatkan adalah "untuk apa saya membayar biaya cetak yang tidak dapat dikembalikan pada saya? kalau dengan batangan biaya masih ada, tapi lebih "kecil".
3.Dan yang memberatkan adalah "untuk apa saya membayar biaya cetak yang tidak dapat dikembalikan pada saya? kalau dengan batangan biaya masih ada, tapi lebih "kecil".
Jika ketiga hal di atas masih ada, saya merasa bahwa mungkin pilihan teman saya di atas "rasional". Peduli amat dengan persatuan sepakbola yang mengangkat diri sendiri dari kelompoknya sendiri, hal ini tentu mengundang sinisme "Ingin menjadi kapten kesebelasan saja harus menutup diri begitu". Sayangnya banyak orang-orang "fanatik" tapi saya merasa wajar. Lah orang ngaku Nabi saja di Indonesia punya banyak pengikut kok, walaupun dicibir masyarakat sebagai "orang-orang tolol". Jadi yang demikian itu harus arif menyikapinya.
Mengapa saya ungkapkan bagian di atas? bagi saya ditengah kemajuan
kesadaran akan hancurnya sistem ekonomi monetaris, alternatif monolitik dan
totalitarianisme tidak akan berhasil dan malahan menganggu. Kembalinya
"nomos" bukanlah dengan membuat klub-klub sepakbola sebanyak kita
bisa, tapi mengembangkan komunitas-komunitas yang saling terbuka berbicara dan
berinteraksi.
Kembali kepada pembahasan emas dan dinar saya berkesimpulan:
1. Dinar, oleh karenanya, seharusnya terbuka untuk ditransaksikan, dipertukarkan, dipindahtangankan, disirkulasikan, tanpa pengahalan yang tidak perlu atau bahkan tidak sesuai fikih hanya karena nafsu belaka.
2. Dinar juga seharusnya menghilangkan ketergantungan rupiahnya (dalam
artian rendah biaya produksi atau efisien, dan diukur berdasarkan kadar dan
berat nyata).
3. Dinar mudah diakses oleh siapapun dimanapun kapanpun.
4. Dinar harus berperan dalam mengembalikan kohesi sosial, gotong royong, voluntarisme, perdagangan sukarela dan terbuka.
3. Dinar mudah diakses oleh siapapun dimanapun kapanpun.
4. Dinar harus berperan dalam mengembalikan kohesi sosial, gotong royong, voluntarisme, perdagangan sukarela dan terbuka.
0 komentar:
Posting Komentar