QIRAAT

PENGERTIAN RASM UTSMANI

PEMBAHASAN
A.   Pengertian Rasm Usmani
Arti rasm menurut bahasa adalah atsar (bekas).Lafal rasm sinonim (muradif) dengan lafal khatkitabah,zubursatr dan raqmRasm ada dua macam, yaitu qiyasi dan istilahi. Rasm qiyasi yang biasa disebut jugaRasm imla’i adalah penggambaran lafal yang menggunakan huruf hijaiyah, dengan tetap memperhatikan standarisasi ibtida’ dan waqf padanya. Sedang Rasm istilahi yang bisa juga disebut Rasm Usmani adalah ejaan tulisan Zayd bin Sabit dan kawan-kawan yang dipakai untuk menulis al-Masahif al-Usmaniyah[1]
Rasm Usmani disebut juga Rasmul qur’an atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah Utsman bin Affan. Istilah rasmul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari, Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu.
Kaidah ini teringkas dalam enam kaidah; 
1.      Al–Hadzf (membuang,menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَآَ يها النا س ).
2.      Al-Ziyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
3.      Al-Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh (ائذن ).
4.      Badal (penggantian),  seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
5.      Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
6.      Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).[2]
B.     Karakteristik Rasm Usmani
     Karakteristik adalah ciri atau identitas khas yang membedakan identitas satu dengan yang lain[3]. Dan Rasm Usmani mendapatkan kedudukan yang tinggi, disamping karena khalifah telah menyetujuinya dan menetapkan pelaksanaannya. Bahkan ada yang menetapkan bahwa Rasm Ustmani adalah RASM TAUQIFI yang cara penulisannya ditentukan oleh Nabi sendiri.
     Selain keindahan tulisan Rasm Usmani,penulisan Rasm Usmani ini juga memenuhi kaidah Sab’atu Ahruf. Dan mereka dapat mengenali dengan baik huruf-huruf dan kata-kata, baik bentuk, harakat, kondisi-kondisi huruf dengan memperhatikan indikasi setiap kalimat yang ada sehingga mereka dapat membacanya dengan baik dan benar.[4]Sebagaimana pada sebagian bahasa seperti bahasa Persia yang pada mulanya disertai dengan tanda baca, namun setelah itu, ditulis dan dibaca tanpa tanda baca.Jenis tulisan disebabkan oleh masalah-masalah yang disebutkan di atas dan seiring dengan kemajuan Islam di kalangan kaum-kaum lainnya, memerlukan perbaikan yang pada akhirnya setelah berlalunya beberapa dekade terjadi perubahan serius pada tulisan-tulisan berbahasa Arab sehingga kekurangan-kekurangan ini dapat teratasi.
Dalam sebuah pandangan global, beberapa Karakteristik Rasm Usmani dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Tulisan-tulisan pada masa itu, tidak memiliki titik, baris dan tanda baca. Tipologi tulisan Arab seperti ini pada masa itu dapat kita saksikan pada manuskrip-manuskrip kuno berbahasa Arab pada hari ini.
2.      Kebanyakan huruf, khususnya huruf-huruf alif belum lagi ditulis; seperti kata-kata seperti al-rahmân (الرحمان), al-‘âlamîn (العالمین), mâlik (مالک), shirât (صراط) yang ditulis dalam bentuk “al-rahman (الرحمن), al-‘alamîn (العلمین), malik (ملک), shirat (صرط).”
3.      Sebagian huruf ditulis sama dengan bentuk huruf laiinnya; seperti alif pada kata-kata “shalat (صلاة), zakat (زکاة), hayat (حیاة),…” ditulis dengan menyertakan huruf wâw; seperti shalat (صلوة), zakat (زکوة), hayat (حیوة) atau alif pada kata-kata seperti idrâk (ادراک), dhuhâhâ (ضحاها), yagsyâhâ (یغشاها) yang ditulis dalam bentuk ya (یاء); idrak (ادریک), dhuhahâ (ضحیها), yagsyâha (یغشیها).
4.      Sebagian huruf dalam bentuk tambahan yang ditulis pada pelafalan; seperti pada kata-kata, “yad’un (یدعون), yatlu (یتلو), miat (مئة), ji (جی‏ء), lisyai (لشی‏ء)…. Yang ditulis dalam bentuk huruf alif tambahan seperti “yad’un (یدعون), yatlû (یتلوا), miata (مائة), jaa (جای‏ء), lisyai (لشای‏ء) atau waw pada kalimat ulaika (اولئک), awla (اولی), ulu (اولوا) yang ditulis dalam bentuk tambahan pada pelafalan.[5]
 C. Hukum menulis Al qur’an sesuai dengan Rasm utsmani
Sebagian ulama berpendapat bahwa keharusan kita mengikuti rasm Utsmani adalah untuk memelihara persatuan, supaya tetap berpegang satu syiar dan satu istilah. Karena pembuat keputusan adalah Utsman dan pelaksananya Zaid Ibn Tsabit, seorang penulis wahyu dan kepercayaan Rasul.
Ahmad Ibn Hambal berkata :
تَحْرُمُ مُخَالَفَةُ خَطِّ مُصْحَفِ عُثْمَانَ فِى وَاوٍ اَوْاَلِفٍ .اَوْيَاءٍ اَوْغَيْرِ ذَلِكَ
“Haram menyalahi tulisan Mus’haf Utsman, baik pada waw, alif, ya’ atau yang lain”
 Imam Malik berpendapat mengenai orang yang menulis al-Qur’an dengan Qaidah Hijaiyyah (Qaidah Imla’) :
. لاَ أَرٰى ذٰلِكَ وَلٰكِنْ يُكْتَبُ عَلَى الْكَتْبَةِ الْاُولٰى
“Saya tidak berpendapat demikian, akan tetapi hendaklah ditulis menurut tulisan pertama”
 kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama)..[6]
Dengan demikian, Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.
Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abbas, beliau berkata bahwa Rasulullah bersabda:
أقرأنى جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستزيد ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف
Artinya:"Jibril membacakan kepadaku satu huruf (bacaan) al-Qur'an lalu saya mengikutinya. Tidak henti-hentinya saya memintanya mengulangi. Dan dia mengulanginya hingga sampai tujuh (macam) bacaan". (HR. Bukhari).
             Hadits ini adalah dalil bahwa Al-Qur'an memang diturunkan dengan tujuh macam qira'ah. Ketujuhmacam qiraah tadi adalah shahih berdasar pengajaran Jibril kepada Rasulullah dan ketujuh macam qiraah tadi juga disampaikansemuanyakepadasahabat.
           Sebagaimana dijelaskan di atas mengikuti rasm utsmani adalah wajib. Hukum wajib ini akan bertentangan dengan status shahih dari qiraah yang lain dan bisa mengharamkan qiraah sahih dan mutawatir lain yang tidak sesuai dengan rasm utsmani. Syeikh Muhammad Ali Ad Dlibagh mengatakan bahwa, rasm utsmani adalah salah
satu rukun dari rukun-rukun ketujuh qira'ah al-Qur'an, maka setiap qira'ah sama sekali tidak bertentangan dengan rasm utsmani. Beliau menambahkan bahwa ketika seseorang menulis al-Qur'an yang di dalamnya ada qiraah yang berbeda dan harus menggunakan tulisan yang berbeda pula, maka yang harus dilakukan menulisnya sesuai dengan rasm utsmani lalu memberinya harakat atau tanda-tanda lain, sehingga ia tidak dikatakan menyalahi mushaf utsmani. Sebab yang diharuskan mengikuti rasm utsmani ialah hanya bentuk penulisan.
D.   Penjelasan apakah Rasm Usmani mencakup seluruh 7 ahruf
       Apabila ditanya apakah al-Masahif al-Usmaniyyah yang enam buah itu mencakup keseluruhan bacaan yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Muhammad saw. yang sab’at ahruf? Terhadap pertanyaan ini ada dua pendapat:
 pertamasekelompok kecil ulama yang dipelopori oleh Ibnu Jarir Al-Tabari berpendapat bahwa al-Masahif al-Usmaniyyah ditulis hanya dalam satu bentuk tulisan saja dari al-ahruf al- sab’ah, yaitu khusus huruf Quraisy. Berdasarkan pesan Khalifah Usman ra. kepada panitia penulisan Alquran:
إذا اختلفتم أنتم وزيد بن ثابت فى شىء من القرأن فاكتبوه بلسان قريش فإنما نزل بلسانهم[7]
Artinya:Jikalau kalian berbeda dengan Zaid bin Sabit tentang sesuatu    dalam Qur’an, maka tulislah dengan lisan Quraisy. Sebab Qur’an itu diturunkan dengan lisan mereka.
Kedua, Jumhur ulama menyatakan bahwa al-Masahif al-Usmaniyyah yang dikenal mempunyai dan memakai aturan penulisan yang khusus, yaitu rasm Usmani, telah mencakup keseluruhan dari Sab’ah Ahruf sertaqira’at Mutawatirah yang dibaca oleh Rasulullah pada waktu al ‘Ardat al-Akhirah. Sebab penulisan al Mashahif al Usmaniyah waktu itu tanpa ada titik dan harakat. Bukan berarti setiap Mushaf Usmani waktu itu mencakup keseluruhan al-Ahruf al-Sab’ah, tetapi rasm dari keseluruhan al-Masahif al-Usmaniyyah mencakupal-Ahruf al-Sab’ah.
Pendapat Jumhur di atas mempunyai alasan sebagai berikut:
1.      al-Masahif al-Usmaniyyah disalin dari suhuf yang dikumpulkan oleh Abu Bakar al-Siddiq. Para ulama sepakat bahwa suhuf ini mencakup bacaan-bacaan Alquran yang diturunkan dengan al-Ahruf al-Sab’ahyang datangnya mutawatir dari Nabi, yakni yang ditetapkan pada ‘Ardat Akhirah dan tidak dinasakhtilawahnya. Maka suhuf Abu Bakar al-Siddiq tersebut dianggap asal dan sumber dari al-Masahif al-Usmaniyyah.
2.      Tidak ada riwayat yang sahih maupun yang daif sekalipun, bahwa Khalifah Usman memerintahkan kepada penulis-penulis al-Masahif al-Usmaniyyah untuk hanya menulis dalam satu huruf (satu wajah bacaan), dan meniadakan 6 huruf yang lainnya.
3.      Andaikata benar apa yang didakwakan pendapat kelompok pertama yakni bahwa Khalifah Usman memerintahkan Zayd bin Sabit dan kawan-kawan untuk menulis dengan lugat Quraisy saja, maka dalam Alquran tidak akan ditemui lugat-lugat selain lugat Quraisy, dan ini jelas tidak benar adanya, sebab kenyataannya dalam Alquran ditemui lugat-lugat selain Quraisy. Sebagai contoh:
الأرائـك  : adalah lugat Yaman
كلا لاوزر : adalah juga lugat Yaman
أفلم ييأس  : adalah lugat Hawazin
لايلتكم     : adalah lugat Abas, dan sebagainya.
4.       Sebagai dalil yang jelas dan meyakinkan adalah bahwa di antara al-   Masahif al-Usmaniyyah yang 6 buah itu, terdapat perbedaan di banyak tempat, misalnya: وسارعو إلى مغفرةQ.S. Ali Imran ditulis pada sebagian al-Masahif al-Usmaniyyah dengan tambahan waw sebelum sin, sedangkan sebagian yang lain tidak ada wawsebelumnya; ( وتوكل على العزيز الرحيم ) dalam Q.S. al-Syu’ara, di sebagian al-Masahif al-Usmaniyyah ditulis: فتوكل على العزيز الرحيم (dengan fa‘); – فإن الله هو الغنىdalam Q.S. al-Hadid, tertulis pada sebagian al-Masahif al-Usmaniyyah dengan tanpa هو , dan masih banyak contoh yang lain. Maka andaikata al-Masahif al-Usmaniyyah ditulis hanya dengan satu huruf atau satu lugat, yaitu huruf Quraisy atau lugat Quraisy, tentu di antara al-Masahif yang 6 buah itu tidak ada perbedaan penulisannya.
Kelompok pertama beralasan dari qaul (pesan) Usman kepada Zayd bin Sabit dan kawan-kawan tidak dapat diterima, sebab yang dimaksud Khalifah Usman ikhtilaf (الاختلاف) di sini adalah ikhtilaf dalam segi rasm dan tulisan. Lagi pula Zayd dan kawan-kawan tidak pernah terjadi ikhtilaf di antara mereka dalam penulisan Alquran, kecuali rasm dari satu kalimah saja, yaitu: التابوت di dalam firman Allah: إن إية ملكه أن يأتيكم التابوت . mereka minta pertimbangan Khalifah Usman, apakah ditulis dengan ha’ atau ta’ (التابوة/التابوت). Lalu Khalifah Usman bin Affan memerintahkan untuk ditulis dengan ta’: التابوت , sebab التابوت (dengan ta’) sebagai lugat Quraisy.
Adapun pernyataan Khalifah Usman bin Affan ra.bahwa Alquran diturunkan dengan lisan Quraisy,juga tidak bisa dijadikan hujjah, sebab yang dimaksud adalah: إن القران أنزل أولا بلسان قربش . Sesungguhnya Alquran diturunkan pertama dengan lisan Quraisy. Kemudian Allah memberi kelapangan dan kemudahan kepada umatnya dengan menurunkan lugat-lugat yang lain, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis-hadis sahih.[8]
Dengan demikian, pendapat Ibnu Jarir Al-Tabari di atas, sulit diterima, sebab andaikata benar, tentu seluruh umat Islam di dunia dewasa ini memakai bacaan dan mushaf Alquran yang sama. Pada kenyataannya, umat Islam di Maroko, Tunisia, Aljazair, dan Afrika Barat, seperti Sinegal, Nigeria dan lain-lain, bacaan mereka tidak sama dengan bacaan Alquran di Indonesia. Sebab negara tersebut memakai versi bacaan yang biasa disebut riwayat Warsy. Demikian juga Alquran umat Islam Libya, yang berbeda dengan bacaan umat Islam Sudan, Maroko, dan Indonesia, sebab bacaan mereka biasa disebut dengan versi riwayat Al-Dury.[9]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.   Rasm Usmani disebut juga Rasmul qur’an atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah Utsman bin Affan. Istilah rasmul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an
2    Dalam sebuah pandangan global, beberapa Karakteristik Rasm Usmani dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.    Tulisan-tulisan pada masa dulu, tidak memiliki titik, baris dan tanda baca. Tipologi tulisan Arab seperti ini pada masa itu dapat kita saksikan pada manuskrip-manuskrip kuno berbahasa Arab pada hari ini.
b.    Kebanyakan huruf, khususnya huruf-huruf alif belum lagi ditulis; seperti kata-kata seperti al-rahmân (الرحمان), al-‘âlamîn (العالمین), mâlik (مالک), shirât (صراط) yang ditulis dalam bentuk “al-rahman (الرحمن), al-‘alamîn (العلمین), malik (ملک), shirat (صرط).”
c. Sebagian huruf ditulis sama dengan bentuk huruf laiinnya; seperti alif pada kata-kata “shalat (صلاة), zakat (زکاة), hayat (حیاة),…” ditulis dengan menyertakan huruf wâw; seperti shalat (صلوة), zakat (زکوة), hayat (حیوة) atau alif pada kata-kata seperti idrâk (ادراک), dhuhâhâ (ضحاها), yagsyâhâ (یغشاها) yang ditulis dalam bentuk ya (یاء); idrak (ادریک), dhuhahâ (ضحیها), yagsyâha (یغشیها).
d.    Sebagian huruf dalam bentuk tambahan yang ditulis pada pelafalan; seperti pada kata-kata, “yad’un (یدعون), yatlu (یتلو), miat (مئة), ji (جی‏ء), lisyai (لشی‏ء)…. Yang ditulis dalam bentuk huruf alif tambahan seperti “yad’un (یدعون), yatlû (یتلوا), miata (مائة), jaa (جای‏ء), lisyai (لشای‏ء) atau waw pada kalimat ulaika (اولئک), awla (اولی), ulu (اولوا) yang ditulis dalam bentuk tambahan pada pelafalan.
3.    Hukum menulis AlQur’an dengan Rasm Usmani adalah wajib karena    Kaidah penulisan Rasm Usmani telah di sepakati para Jumhurul Ulama’
4.    Penjelasan mengenai Apakah Rasm Usmani Mencakup 7Ahruf ini ada dua     Pendapat:
a.       Mencakup 7 ahruf
b.      Tidak mencakup 7 ahruf dan berpendapat Rasm Usmani itu hanya 1 bagian dari 7ahruf tersebut
B.     Kritik Dan Saran
Dari pemaparan kami di atas tentunya banyak kekeliruan atau kesalahan dalam penuliasan dan isi,oleh karna itu kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun agar kami bisa belajar skaligus memperbaiki kesalahan kami. Atas kekurangannya kami mohon maaf.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Malik Hammad, Miftah al-Aman fi Rasm al-Qur’an (td.). h. 12.
Al-Suyuti, op. cit., h. 147-156.
Tim Penyusun. 1991. Kamus Bahasa Indonesia. T.p.
Sayid Mahdi Saif, Târikhce Rasm al-Khath Qur’ân wa Sair Tahawwul-e Ân,      Majallah Rusyd Âmuzesy Ma’ârif Islâmi, Bahar 1380, No. 44, hal. 14-15.  
 Syahbah,op.cit., hlm. 302-307; as-Suyuthi, op. cit., jilid II, HLM 167; Kamaludin Marzuki,ulum al-Quran, Rosdakarya, Bandung, 1992, hlm. 78-82.Muhamad Abd Alazhim Az-Zarqoni, Munahil AL-Irfan Dar Al-Fikri, Beirut, t.t., Jilid I, hlm.369 dst.
 Ahmad Muhammad Abu Zitihar, Lataaif al-Bayan fi Rasm al-Qur’an Syarh Mawrid al-Zham’an (Kairo: Maktabat wa Matba’at Muhammad Ali Subaih wa Awladuh, t.th.), h. 6-7
Al-Zarqani, op. cit., h. 168
Al-Qadi, op. cit., h. 62-66
Manna’ al-Qahthan, Mabaahits Fi Ulumil Quran, (Mansyuraat Al ‘Ashril hadits,     Riyad, 1393 H/1973 M.), hal. 169.


[1]Ahmad Malik Hammad, Miftah al-Aman fi Rasm al-Qur’an (td.). h. 12.
[2] Al-Suyuti, op. cit., h. 147-156.
[3] Sulkhan yasinTim Penyusun. 1991. Kamus Bahasa Indonesia. T.p. h.218
[4] Sayid Mahdi Saif, Târikhce Rasm al-Khath Qur’ân wa Sair Tahawwul-e Ân, Majallah Rusyd Âmuzesy Ma’ârif Islâmi, Bahar 1380, No. 44, hal. 14-15.  
[5]Ahmad Muhammad Abu Zitihar, Lataaif al-Bayan fi Rasm al-Qur’an Syarh Mawrid al-Zham’an (Kairo: Maktabat wa Matba’at Muhammad Ali Subaih wa Awladuh, t.th.), h. 6-7
6 Syahbah,op.cit., hlm. 302-307; as-Suyuthi, op. cit., jilid II, HLM 167; Kamaludin Marzuki,ulum al-Quran, Rosdakarya, Bandung, 1992, hlm. 78-82.Muhamad Abd Alazhim Az-Zarqoni, Munahil AL-Irfan Dar Al-Fikri, Beirut, t.t., Jilid I, hlm.369 dst.
[7] Al-Zarqani, op. cit., h. 168
[8] Al-Qadi, op. cit., h. 62-66
[9] Manna’ al-Qahthan, Mabaahits Fi Ulumil Quran, (Mansyuraat Al ‘Ashril hadits, Riyad, 1393 H/1973 M.), hal. 169.

0 komentar:

Posting Komentar