PANDANGAN ISLAM LIBERAL MENGENAI
ISU-ISU SYARI’AH
Oleh: Syamsuri
A. Pendahuluan
Perkembangan pemikiran Islam berjalan seiring dengan berkembangnya kaum Muslimin. Berbagai masalah timbul dan terjadi memerlukan pemecahan. Pada abad-abad awal sejarah perkembangan Islam tidak banyak diwarnai peninjauan ulang terhadap berbagai pemikiran. Tetapi, setelah abad ketiga dengan diadopsinya filsafat Yunani oleh para intelektual Muslim menjadikan babak baru bagi perdebatan pemikiran Islam yang melahirkan banyak tren pemikiran.
Dalam perkembangan pemikiran tentang theologi yang lebih mengedepankan sisi logika (akal) daripada memahami bahawa agama adalah masalah interpretasi yang datang dari wahyu, akhirnya banyak bermunculan pemikiran baru dalam peninjauan ulang tentang cara berfikir terhadap sebuah agama.
Dalam agama islam sendiri kita dikejutkan oleh munculnya Jaringan Islam Liberal, atau lebih di kenal dengan JIL. Ia adalah suatu bentuk penafsiran tentang islam dengan seluruh ajarannya dipandang dari sisi aqli (akal). Yaitu dari kebebasan berijtihad, dan pendapat bahawa agama adalah sebuah religi etik bukan sekedar tekstual, dan kebenaran yang plural serta relative.
Berbagai macam warna umat islam pada akhir-akhir zaman ini sanggat pesat sekali, dan mereka semua masih dalam scope umat Islam. Karena memang definisi dari umat Islam itu sendiri adalah kelompok yang diikat oleh akidah sepanjang sejarah. Maka selama mereka mengikuti Nabi mereka sejak zaman nabi Adam hingga nabi Muhammad Saw, atau siapa saja yang akan senantiasa berjalan diatas hidayah dan petunjuknya hingga hari kiamat dan beriman dengan tuhanya, maka mereka adalah umat islam.
B. Latar belakang
Pada zaman sekarang ini kita mendapati ada orang yang meragukan keharaman khamar, riba atau bolehnya tholaq dan berpoligami dengan syarat-syaratnya. Ada yang meragukan keabsahan sunnah Nabi saw. Sebagai sumber hukum. Bahkan ada yang mengajak kita membuang seluruh ilmu-ilmu Al-Qur'an dan seluruh warisan ilmu pengetahuan Al-Qur'an ke tong sampah, untuk kemudian memulai membaca Al-Qur'an dari nol dengan bacaan kontemporer, tanpa terikat oleh suatu ikatan apapun, tidak berpegang pada ilmu pengetahuan sebelumnya. Juga tidak dengan kaidah dan aturan yang ditetapkan oleh ulama' umat Islam semenjak berabad-abad silam.
Penyakit itu sebenarnya sudah dirancang sejak lama oleh kaum zionisme barat dengan konteks globalisasi kebudayaan, yang mana Globalisasi kebudayaan ini bertujuan melepas kita dari kulit kita, atau mencopoti identitas dan kepribadian kita dari diri kita serta menawarkan dagangganya berupa pemikiran dan pola hidup kepada umat kita sehingga mereka akan menjadi hancur dan akidahnya tergusur. Dan mereka mengingginkan agar kita memiliki pola pikir yang permisif, sehingga membolehkan apa yang diharamkan oleh Allah dan membolehkan setiap kemungkaran yang dilarang oleh syari'at (wahyu).
Dan globalisasi kebudayaan menyebarkan pergaulan bebas antar lawan jenis, membolehkan laki-laki mengawini laki-laki dan perempuanya mengawini perempuanya. Ini semua mereka propagandakan dalam konferensi-konferensi internasional dan dalam kampaye-kampanye mereka. Mereka memandang curiga terhadap umat Islam dengan persepsi negatif. Ini berikutan pandangan yang diwarisi mereka bahawa Islam dan Umat Islam adalah ancaman kepada peradaban Barat.
Maka tidak heran bila Yusuf Al-Qordhawi menyebut kebudayaan aborsi mutlak. Karena menurut mereka, janin adalah bagian dari tubuh wanita, sementara wanita punya kemerdekaan, sehingga ia bebas berbuat apa sahaja terhadap bagian tubuhnya termasuk terhadap janinya.
Globalisasi kebudayaan juga bisa dibilang globalisasi agama yang mengarah pada perubahan pola pikir seseorang terhadap agama, iaitu suatu globalisasi yang sanggat penting bagi mereka sekalipun mereka tidak menyebutnya secara terang-terangan.
Maka dalam merealitakan upaya ini semua, barat melancarkan penjajahan agama setelah melakukan penjajahan fisik dan militer serta politik yang kini sudah tidak cocok lagi, yaitu dengan cara mengkristenkan dunia, imperialisme agama nasrani menggunakan kekuatan militer barat dan memakai kekuatan ekonomi, politik, teknologi, media massa, komunikasi, dan informasi yang dimiliki oleh barat.
Fenomena in sanggat tampak jelas sekali di hadapan mata kita sekarang, umumnya di tanah melayu yang notabenenya beragama Islam, mereka datang bersama para zending. Lalu keduanya bekerja sama dengan gencar untuk mencapai tujuanya sehingga berhasil menjadikan mereka ragu terhadap Islam agama yang dianutnya.
Selanjutanya setelah mereka ragu terhadap apa yang ia anutnya, maka akan munculah beberapa pertanyaan dari mereka yang disandarkan pada akal, menghadirkan wajah islam baru, yaitu islam yang ortodoks; islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan islam yang berorientasikan ke masa depan dan bukan kemasa silam. Yang akhirnya disebut dengan istilah "islam Protestan" atau "Islam Liberal".
C. Perkembangan Islam Liberal Dan Tolak Ukur Pemikiranya
Perjalanan pemikiran Islam sanggat dipengaruhi oleh naik turunnya kekuasaan pada abad ke-15. karana pada abad itu terjadi kemerosotan pemikiran Islam serta ditandai oleh kejumudan berpikir, sehingga kekuasaan para penjajah menjadi kuat di hampir semua negara Islam yang terjajah. Di samping itu, para penjajah ini juga membawa konsepsi pemikiran yang sengaja dikembangkan untuk menyingkirkan atau paling tidak mendistorsi pemikiran Islam. Karena itu, terjadi penurunan pemikiran di antara umat Islam sendiri. Ada yang ingin mempertahankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka. Kelompok ini disebut oleh para orientalis sebagai kelompok konservatif. Sedangkan anti tesa dari kelompok ini adalah kelompok yang menginginkan perubahan dalam pemikiran Islam sehingga ditarik sedemikian rupa agar sesuai dengan pemikiran modern yang nota bene adalah model Barat. Kelompok kedua inilah disebut dengan kelompok yang berpandangan liberal (Islam Liberal).
Pada dasarnya, Islam Liberal merupakan ‘produk’ baru untuk menjelmakan kembali modenisme di Abad ke-21. Modenisme Islam telah lama muncul di kalangan intelektual Muslim dan menjadi satu trend pemikiran yang berpengaruh dalam dunia Islam sejak Abad ke-19M.
Kemunculan Modenisme Islam adalah akibat dari pertemuan yang tidak seimbang daripada dua dunia: Islam dan Barat. Penjajahan yang berlaku lebih 400 tahun terhadap umat Islam sedikit sebanyak menyebabkan sikap rendah diri atau inferiority-complex apabila berhadapan dengan peradaban yang canggih dan hebat. Perlu digarisbawahi di sini bahawa modenisme Islam bukanlah aliran pemikiran yang tunggal dan jelas, tetapi ia mencakupi beberapa aliran pemikiran sesuai dengan istilah modenisme itu sendiri yang kabur.
Melihat pada perkembanganya Islam liberal sendiri diperkenalkan oleh Leonard Binder dan Charlez Kurzman. Ia memberikan arti daripada Islam Liberal itu sebagai sekelompok pemikir Islam yang mencoba keluar dari kungkungan Tradisi dan menjajarkan Islam dengan isu-isu global yang berkembang dalam dunia modern sekarang ini. Sedangkan definisi Liberal menurut salah satu tokoh Islam Liberal di Indonesia sekarang, Luthfi Assyaukanie :Islib adalah sebuah kondisi dan suasan di mana kaum muslim bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Maka dalam konteks Eropa, Liberal mengacu kepada situasi kebangkitan dan pencerahan.
Dan ia juga memberikan beberapa tolak ukur standarisasi sebuah pemikiran Islam yang dapat disebut Liberal, iaitu:
1. Harus melawan teokrasi, iaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam.
2. Harus mendukung gagasan demokrasi
3. Membela hak-hak perempuan yang selama ini didiskriminasikan
4. Membela hak-hak non-Muslim, karena pada dasarnya semua agama adalah sama satu tujuan iaitu menuju Tuhannya.
5. Membela kebebasan berfikir
6. Membela gagasan kemajuan.
Maka jelaslah dapat kita simpulkan bahawa siapapun mereka bila membela salah satu dari enam gagasan tersebut maka ia termasuk Islam Liberal.
D. Visi dan missi Islam Liberal
Golongan Islam Liberal membawa agenda merosakkan pegangan akidah umat Islam secara sadar atau pun tidak melalui media massa, program tertutup dan terbuka, drama atau filem yang disuntik ide liberalisasi Islam, dan sebagainya. Kebanyakan sasaran golongan Islam Liberal ini bersifat halus dan sukar dikesan akibat sebahagian besar isu yang diketengahkan sudah sebati dalam masyarakat.
Antara sasaran utama golongan ini adalah mempertikaikan pandangan serta kenyataan para alim ulama’ yang benar. Mungkin kita kurang sedar tentangan golongan Islam Liberal terhadap alim ulama’ akibat pendedahan media massa yang lebih menyebelahi mereka dan kurang menekankan pandangan serta kenyataan alim ulama’ terhadap sesuatu isu. Situasi ini sangat berbahaya di mana masyarakat sudah berani mengkritik mufti-mufti atas fatwa yang dikeluarkan dengan pelbagai alasan logikal semata-mata.
Golongan Islam Liberal juga mengajak masyarakat kebanyakan supaya berani memberi pendapat terhadap sesuatu isu agama mengikut pandangan sendiri tanpa merujuk kepada ahli agamawan yang berkeutamaan dalam membincangkan isu tersebut. Situasi ini jelas bilamana perbincangan dalam isu-isu agama seperti poligami dibincangkan dalam media massa dengan menjemput artis-artis serta ahli korporat sebagai panel undangan.
Mengapa para alim ulama’ diketepikan? Ini kerana isu yang dibincangkan hanyalah untuk memenangi agenda golongan Islam Liberal ini. Usah terkejut jika ada di antara golongan Islam Liberal ini mempertahankan hak golongan gay serta lesbian. Atas alasan kebebasan individu untuk memilih pasangan, golongan Islam Liberal membuka ruang kebebasan kepada umat Islam supaya melangkah setapak lagi menjauhi akidah Islam yang dipegang selama ini. Antara liberalis Islam yang lantang mempertahankan hak ini ialah Raquel Evita Saraswati, Koordinator Projek Ijtihad dibawah kelolaan Irshad Manji.
Di Malaysia, golongan Islam Liberal ini sangat rakus menghentam institusi Mahkamah Syari’ah atas alasan mengiktiraf Mahkamah Sivil sebagai jalan keluar menyelesaikan segala permasalahan undang-undang yang utama. Kebanyakan kes yang digunakan oleh golongan Islam Liberal untuk menentang institusi Mahkamah Syari’ah ialah perceraian, hak penjagaan anak, hak untuk murtad, penentangan terhadap poligami, dan sebagainya.
Maka ada beberapa misi yang nampak jelas daripada kumpulan ini ialah:
Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
E. Konsep Pemikiran Islam Liberal
1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
2. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur'an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari keperluan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
5. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.
F. Pelopor dan Tokoh-tokoh Islam Liberal serta pemikiranya
1. Fazlur Rahman. (1919-1988).
Ia dilahirkan di Indo-Pakistan (sebelum terpecah dengan India). Awal mulanya ia bertemu dengan seorang tokoh Jamaat Islami yaitu Maududi, karena ia kurang puas atas pemikiranya dan suasana keislaman di Pakistan, maka selanjutnya ia pergi ke Barat yaitu Universitas Oxford, Inggris (1946).
Sepulangnya ia dari Inggris ke Pakistan ia menjadi staf Lembag riset Islam, mulai dari situlah ia mencoba untuk menuangkan pikiran-pikiran Liberalnya di Jurnal Islamic Studies, misalnya menentang dalil-dalil Kebolehan Poligami, Hak cerai laki-laki, mendukung keluarga berencana (KB), dan menurutnya bunga bank bila hanya kecil halal, yang haram bila bunga bank terlalu besar.
2. Leonard Binder
Tokoh ilmuwan politik Yahudi ini salah satu teman yang sering diajak berdiskusi dengan Rahman dalam penelitian tentang "Islam dan Perubahan Sosial" di lembaga riset Unversitas Chicago Amerika (1970).
Dengan penelitian itu ia menyusun sebuah buku yang berjudul Islamic Liberalism pada tahun 1988. yang berisi kritikan-kritikan tajam terhadap pendapat tokoh-tokoh Islam seperti Maududi, Sayyid Qutb, Dhiyauddin-Rais dan Abdul Raziq. Ia mengatakan dalam Liberalisme Agama memperlakukan agama sebagai pendapat, karenaya mentolerir keaneka ragaman dalam bidang yang justru diyakini hitam putih oleh kaum tradisionalis. Dan menerutnya agama dan politik boleh jadi tidak tergolong sebagai dua realitas hidup yang berlainan. Namun, keduanya tidak bisa difahami secara persis. "Agama dapat diserap dengan nurani, sedangkan politik dipahami dengan nalar, dengan demikian apapun bentuknya yang tidak dapat dipahami oleh nalar maka akan disihkan dalam wacana politik rasional".
3. Dr. Faraj Faudah / Fuda (1945-1993)
Ia adalah salah satu perwakilan dari kelompok sekuler Mesir yang terbunuh selepas terjadinya forum debat dengan kelompok Islam yang diwakili oleh Muhammad Al-Ghozali, yang mana ia diklaim oleh ulama Islam pada waktu itu sebagai orang yang mengaku Muslim tetapi menolak terang-terangan pelaksanaan Syari'at Islam dan mengajak untuk menganti syariat Allah ke syari'at Thogut. Dengan istilah baru Islam Liberal. Maka dari sinilah ia dijuluki sebagai salah satu tokoh Islam liberal pada waktu itu.
4. Nasr Hamid Abu Zayd. (1943-sekarang)
Adalah seorang pemikir modernis Mesir yang sanggat dikenal oleh pemerhati perkembangan pemikiran Islam. Sebagai contoh dalam encyclopedia Wikipedia, ia dikisahkan seorang pemikir Al-Qur’an (Qur’anic Thinker), dan theology Liberal terkemuka diMesir. Dan kajian ilmiah untuk gelar Profesornya Naqdu al-kitab ad-dien. yang membuatnya termashur di dunia Islam. Akan tetapi setelah ia diklaim oleh para Ulama’ Mesir murtadz yang pada waktu itu hukumanya adalah mati, dengan alasan kajianya melecehkan Al-Qur’an dan menghina para Ulama’ salaf, maka pada tahun 1995 bersama keluarganya ia hengkang ke Belanda hingga sekarang. Mulai dari situlah ia mengembangkan pemikiran Liberalnya, hingga saat ini teori penafsiran Hermenautika dijadikan sebuah kurikulum di setiap perguruan tinggi Agama di Indonesia.
Menurutnya pembacaan teks-teks keagamaan hingga saat ini masih belum menghasilkan interprestasi yang bersifat ilmiah-objektif, bahakan banyak diwarnai unsure-unsur mistik, khurofat dan interprestasi literal yang mengatas namakan agama.
Beberapa tokoh dan pelopor Islam Liberal di Indonesia :
• Prof.Dr. Nurcholis Majid (Jombang)
• H. Abdurrahman Wahid (Jombang)
• Ulil Abshar Abdallah
• Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali (Yogyakarta)
• Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
• Prof. Dr. Harun Nasution (Sumatera Utara)
• Prof. Drs. M. Dawan Raharjo ( Solo)
• Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, M.A ( Solo)
• Prof. Dr. Ahmad Syai'I Ma'arif ( Sumatera BArat)
• Prof. Dr. Alwi Abdurrahman Shihab, M.A (Sulawesi Selatan)
• Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A (Sumatera Barat)
• Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Magelang)
• Prof. Dr. M. Amin Abdullah (Jawa Tengah)
• Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A (Makasar)
• Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, M.A (Cirebon)
• Prof. Dr. Siti Musdah Mulia,M.A (Sulawesi Selatan)
• Dr. Rizal Malarangeng
• Ahmad wahib (Madura)
• Djohan Effeni (Kalimantan Selatan)
G. Aspek-aspek Islam Liberal
Ada tiga aspek penting dalam Islam yang sedang genjar mengalami Liberasisasi:
1. Syari'at Islam
Berbagai hukum-hukum yang tepat (qoth'iy) dibongkar dan diubah untuk diseseuaikan dengan zaman, seperti hukum perzinaan, hukum homoseksual, hukum murtad, hukum perkahwinan antar agama, dan sebagaimnya.
Menurut kaum liberal, maka tidak ada yang tepat dalam agama, sebab mereka memandang agama adalah bagian dari proses dinamika sejarah, sebagaimana kaum Yahudi dan kristren liberal dalam memandang agama mereka. Padahal, Islam bukanlah agama evolutif, yang berkembang mengikuti Zaman. Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak awal. Firman Allah (Qur'an : 5:3) sejak lahirnya Islam sudah dewasa, bukan lahir bayi, lalu berkembang menjadi dewasa, sebagaimana agama sejarah dan budaya, seperti Yahudi, kristen dan lainya.
2. Al-Qur'an dan Tafsir Qur'an
Para moderat dan yang mendakwahkan dirinya sebagai pembaharu dalam pemikiran Islam ia menerangkan Posisi Al-Qur'an sebagai hasil budaya manusia, oleh karenaya sebagai budaya, posisi al-Qur'an tidak berbeda dengan rumput. menurut Sulhawi Ruba.
Ia menambahkan bahwa al-qur'an sebagai kalam Allah dalah makhluq ciptaanNya, sedangnkan Al-Qur'an sebagai mushaf adalah budaya karena bahasa arab, huruf hijaiyyah, dan kertas merupakan hasil karya ciptaanya manusia. Maka menurutnya, sebagai budaya, Al-Qur'an tidak sakral. Yang sakral adalah kalamullah secara substantif.
3. Aqidah Islam
Pluralisme agama pada dasarnya didasarkan pada suatu asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju tuhan yang sama. Jadi menurut para penganut Liberalisme semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju tuhan yang sama, maka tuhan siapa pun menurutnya dan nama-Nya tidak menjadikan masalah. Karena mereka memandang , agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif, karena itu tidak masalah apakah tuhan itu disebut dengan nama Allah, God, Lord, Yahweh, dan sebagainya.
H. Isu-Isu Syari'ah dalam pandanganya Islam Liberal :
Pada dasarnya kelompok Islam liberal sanggatlah empati dengan diperlakukanya syari'at Islam (secara formal oleh Negara), karena mereka sanggat getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita, menyamakan agama Islam dengan agama lain (pluralisme teologis), memperjuangkan demokrasi barat dan sejenisnya.
Luthfi Asyaukani memperkenalkan empat agenda pokok Islam Liberal dalam artikelnya bertajuk "empat Agenda Islam yang membebaskan" ialah;
Pertama, Agenda politik. Menurutnya urusan negara adalah murni urusan
dunia, sistem kerajaan dan parlementer (demokrasi) sama saja..
Kedua, Mengangkat kehidupan antara agama. Menurutnya perlu pencarian
teologi pluralisme mengingat semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di
negeri-negeri Islam.
Ketiga, Emansipasi wanita
Keempat, Kebebasan berpendapat (secara mutlak).
Maka apa yang akan dipaparkan dalam kertas ini adalah beberapa pandangan Islam liberal dalam pemikiranya terhadap isu-isu syari'ah yang berkembang di Indonesia sahaja. Memang terlihat jelas bahawa pemikiran-pemikiran liberal yang dilontarkan oleh golongan ini merupakan penyerapan dan pengaruh dari isu-isu pemikiran yang berkembang di dunia Barat. Proses pembaratan dan globalisasi kultural yang berjalan di Indonesia selama ini telah melahirkan golongan pemikir yang merasa selesa dengan pemikiran agama seperti yang terjadi di Barat.
Islam Liberal kini menjadi satu lagi jentera globalisasi, bukan dalam bidang ekonomi, tapi dalam bidang agama. Seperti juga nasib agama-agama di Barat, Islam Liberal hendak menjadikan Islam sama seperti Kristian atau Faham Yahudi di Barat yang tunduk dengan kehidupan duniawi, dengan cara membebaskan umat Islam dari ajaran-ajaran Islam yang tulin menerusi tafsiran atau perubahan ajaran Islam itu sendiri sehingga sesuai dengan selera dan agenda Barat. Hal ini sesuai dengan motto dan syiar Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia iaitu "Islam Yang Membebaskan." Pembebasan yang pertama, seperti yang terjadi di dunia Barat, adalah menerusi proses sekularisasi dan sekularisme yang berambisi membebaskan umat manusia dari pengaruh-pengaruh alam rohani. Isu-isu diantaranya ialah:
1. Persepsi Agama dan Akal
Islam Liberal beranggapan bahawa gerakan yang mereka lakukan adalah satu-satunya alternatif yang melakukan usaha penyatuan di antara agama (faith) dan akal fikiran (reason). Mereka melihat majoriti umat Islam mengikut aliran tradisionalis konservatif yang jumud dan tidak memberi ruang kepada akal fikiran untuk berperanan dan berijtihad. Lebih dari itu, golongan fundamentalis dikatakan telah berusaha untuk memonopoli pemahaman Islam, sehingga apa sahaja pandangan yang tidak sesuai dengan kerangka berfikir mereka akan dicap sebagai tidak Islamik.
Kalau dilihat daripada sejarah pemikiran dan perundangan Islam, penyatuan agama dan akal bukan perkara yang baru, ia sebenarnya telah ada dalam tradisi Islam. Terlalu banyak ayat al-Qur’an dan Hadith yang memberikan perhatian kepada penggunaan akal fikiran. Bahkan melihat kepada pelaksanaan Rasulullah s.a.w. terhadap text, dan pemahaman dan pelaksanaan para Sahabat tidak pernah membelakangi akal fikiran. Akal berfungsi dengan baik sebagai penterjemah dan memikirkan cara terbaik dalam melaksanakan tuntutan agama. Imam-imam mazhab mengenal dan mencipta istilah-istilah seperti qiyas, istihsan, masalih al-mursalah dan maqasid al-shari‘ah yang merupakan sumber perundangan Islam yang diakui dalam tradisi Islam.
Apabila adanya kecenderungan ulama’ masa kini yang kolot dan jumud dalam berfikir, ia tidak bermakna tradisi atau Islam sendiri yang menyebabkan perkara tersebut terjadi. Justeru, ajaran Islam menggalakkan penggunaan optimum akal fikiran dalam kerangka yang dibenarkan oleh syari’ah itu sendiri. Oleh sebab itu sebenarnya tidak timbul istilah literal Islam versus liberal Islam dalam memahami agama.
Di sini dapat dikesan kecenderungan Islam Liberal dalam melihat agama dan akal sebagai dua entiti yang otonom dan independen. Agama ataupun shari’ah, kerana dilihat amat terbatas jumlah teksnya, bergerak dalam ruanglingkupnya yang tersendiri dan akal mempunyai peranan dalam kerangka yang lebih luas yang dapat memastikan kerelevanan agama dalam dunia masa kini. Oleh kerana itu kontradiksi berlaku di antara dua aliran pemikiran modenis atau Islam Liberal dan ramai ulama’ dan pemikir Islam yang meletakkan syarat penggunaan akal fikiran agar tidak bertentangan dengan mana-mana teks al-Qur’an dan al-Sunnah.
Bagi Islam Liberal apabila pertentangan di antara keduanya berlaku, maka teks al-Qur’an ini perlu ditafsirkan melalui kaedah hermeneutik ataupun melalui pemahaman substantif agar tidak lagi terpaku kepada pemahaman literal terhadap shari’ah, akan tetapi pemahaman yang Liberal. Berangkat dari metodologi dan cara berfikir inilah, tidak sedikit daripada mereka yang hanya melihat daripada shari’ah itu nilai-nilai universal yang juga ada dalam tamadun Barat bahkan juga dikongsi bersama oleh mana-mana agama di dunia ini.
2. Kesetaraan Gender dan Rekonstruksi Syari'ah
Proses demokratisasi telah berjalan setua usia republik Indoneisa yang mendasarkan kedaulatannya di tangan rakyat. Kemerdekaan Indonesia sesungguhnya manifestasi dari penolakan terhadap nilai-nilai traditional yang feodalistik dan nilai-nilai kolonial yang eksploitatif. Baik sistem feodal maupun kolonial menyisakan berbagai ketidakadilan yang berbasis pada ras, etnik, agama dan juga gender. Kemerdekaan memberikan garansi bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan berserikat yang melahirkan berbagai corak pola pikir manusia terhadap arti sesuatu kemerdekaan. Oleh sebab itu, para kelompok Islam Liberal menjadi ini semua sebuah wacana dan peluang baru untuk mengangkat derajat wanita dengan dalih semua makhluq sama derajatnya di hadapan yang Maha Esa guna meniadakan ketimpangan sosial.
Kesetaraan gender merupakan sendi utama proses demokrastisasi karena menjamin terbukanya akses dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat. Tidak tercapainya cita-cita demokrasi seringkali dipicu oleh perlakuan yang diskriminatif dari mereka yang dominan baik secara struktural maupun secara kultural. Perlakuan diskriminatif ini merupakan konsekwensi logis dari suatu pandangan yang bisa dan posisi asimetris dalam relasi sosial. Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan tersebut dapat menimbulkan kerugian dan menurunkan kesejahteraan. hidup bagi pihak-pihak yang termarginalisasi dan tersubordinasi.
Bahakan seorang tokoh feminis Mesir Nawal Sa’dawi membuat artikel dalam talusinya berjudul Women in Islam ia mengatakan bahawa semua kitab-kitab samawi termasuk al-Qur’an telah menindas wanita. Bagia dia semua agama bersikap patriarki karena muncul dalam masyarakat yang juga patriarki.
Maka Menurut mereka kaum Liberalisme masalah-masalah ketimpangan gender dapat mengakibatkan beberapa pengaruh terhadap kehidupan sosial iaitu:
1. Ketimpangan jenjang pendidikan.
Pendidikan merupakan hak bagi setiap manusia, baik laki-laki dan perempuan. Namun dalam prakteknya, partisipasi perempuan dalam pendidikan makin menurun pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Anak-anak perempuan merupakan pihak yang paling rentan terhadap kecenderungan putus sekolah apabila keuangan keluarga tidak mencukupi. Hal tersebut disebabkan oleh suatu pandangan kultural yang mengutamakan anak laki-laki, baik sebagai penerus keluarga maupun sebagai mencari nafkah utama. Pandangan tersebut sangat merugikan perempuan dalam tingkat ekonomi menengah ke bawah di mana mereka juga harus memberikan kontribusi ekonomi keluarga. Akses pendidikan yang rendah sangat berpengarruh pada akses terhadap sumber-sumber produksi di mana mereka lebih banyak terkonsentrasi pada pekerjaan informal yang berupah rendah
2. Kesenjangan akses sumber daya produktif.
Perbedaan gender dapat mengakibatkan ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya produktif (productive resources) informasi dan permodalan, termasuk pemilikan tanah. Di daerah pedesaan kepemilikan tanah perempuan lebih rendah dari kaum laki-laki. Banyak perempuan yang tidak memiliki akses permodalan yang sama dengan laki-laki sehingga berpengaruh terhadap kontribusinya terhadap ketahanan keluarga. Di tempat kerja, posisi perempuan cenderung lebih rendah secara managerial dan struktural. Bias gender tentang kepemimpinan mengakibatkan rendahnya peluang perempuan untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut.
Perbedaan pembagian kerja produksi dan reproduksi antara laki-laki dan perempuan turut serta mempertajam kesenjangan struktural. Pada umumnya, pekerjaan reproduksi seperti pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak-anak yang secara kultural diserahkan pada perempuan tidak diberi nilai setara dengan pekerjaan produksi dalam kebijakan kerja. Peran ganda (produksi dan reproduksi) yang harus dilakukan oleh kaum perempuan membuat mereka tidak dapat berkompetisi secara objektif dalam mencapai jenjang promosi dan kepangkatan serta pendidikan lanjutan yang sama.
3. Ketidak setaraan partisipasi politik
Ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki di bidang pendidikan dan akses terhadap suber daya produktif juga mempengaruhi partisipasi politik. Pola relasi patriarkhis priyayi Jawa dan konsep `pencari nafkah utama` (breadwinner) kolonial diadopsi untuk menciptakan ketergantungan ekonomi dan politik perempuan terhadap laki-laki.
4. Kekerasan yang berbasis gender
Ketimpangan jenjang pendidikan dan kesenjangan akses sumber daya produktif serta rendahnya partisipasi politik perempuan telah menyebabkan mereka menjadi rentan terhadap kekerasan, baik yang bersifat fisik, psikologis dan seksual. Kekerasan tersebut dapat dilakukan secara individual, kelompok maupun negara. Kekerasan tersebut dapat terjadi di mana saja. Bahkan, rumah yang diasumsikan sebagai tempat berlindung justru menjadi tempat yang paling tidak aman bagi perempuan. Kekerasan berbasis gender dapat bersifat tersamar dan simbolik seperti ekploitasi media dan pornografi namun juga konkrit dan nyata seperti perkosaan dan pelecehan seksual..
3. Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia
Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah perbuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang al-fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan.
Maka menurut Ulil Abshar Abdallah ia menjawab dalam masalah ini yang tertuang dalam bukunya agama, akal dan kebebasan, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik iaitu:
Pertama, golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama.
Kedua adalah Mu'tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang.
Pada hari ini liberalisme merupakan satu cara hidup dimana seseorang akan berfikir bahawa dirinya bebas melakukan apa sahaja yang ia ingginkan dan membebaskan diri dari segala bentuk kongkongan, sama ada daripada agama, tradisi, adapt, harta kepentingan public sekalipun tidak boleh diutamakan berbanding kepentingan individu.
Dan menurut mereka demokrasi berarti penolakan terhadap diktatorisme dan otoritarianisme. Sebab jelas mereka demokrasi sanggat dekat dengan jiwa Islam dan subtansinya sejalan dengan Islam. Dengan beberapa alas an sebagai berikut:
a. beberapa hadist menunjukan bahawa Islam menghendaki pemerintahan yang disetujui rakyat.
b. Penolakan Islam terhadap kediktatoran
c. Demokrasi merupakan sebuah upaya mengembalikan system kekhilafahan khulafa Rasyidin yang memberikan hak kebebasan kepada rakyat yang hilang ketika beralihnya system kekuasaan Islam kepada system kerajaan di tangan Mu’awiyah.
d. Demokrasi adalah kontrak social yang riil, yang karenanya jika seorang penguasa tidak mau menerima teguran boleh diturunkan dari kekuasaanya dan digantikan yang lainya.
Maka dari analisis diatas dapat membawa pemikir Barat ke ara Liberalisme:
Pertama, liberalisme berfikir bahawa kemajuan akan tercapai dengan membebaskan manusia dari segala ikatan, baik berbentuk dogma maupun tradisi.
Kedua, agama secara semula jadinya mengikat atau membelenggu manusia, dan ini bagi mereka bertentangan dengan akal yang lebih cenderung membebaskan.
Andaiaan bahawa agama bersifat membelenggu dan irrational (tidak rasional) mungkin ada benarnya apabila melihat kepada reality sesetengah agama, namun ia tidak semestinya demikian dalam Islam. Seseorang Muslim sejati justeru berpandangan bahawa Islam mempunyai agenda pembebasan atau lebih dikenal dengan missi transformative-liberatif.
4. Pluralisme agama
Islam adalah agama yang syumuli mengaku kehadiran beberapa agama yang menjadi pilihan masing-masing penganutnya. Islam juga tidak memaksa manusia untuk memeluk agamanya sahaja tetapi mebiarkanya terbentuk kepada pilhan setiap individu. Sebagaimana Allah berfirman dalam Kitab suci Al-Qur'an:
Dan katakanlah: “Kebenaran itu ialah yang datang dari Tuhan kamu, maka sesiapa yang mahu beriman, hendaklah ia beriman; dan sesiapa yang mahu kufur ingkar, biarlah dia mengingkarinya.”
Dan jika Tuhanmu menghendaki nescaya berimanlah sekalian manusia yang ada di bumi. Maka patutkah engkau pula hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman?
Yang dituntut oleh Islam adalah hendaknya setiap manusia yang telah dikurniakan Allah pendengaran, penglihatan dan hati merenungkan penciptaan dirinya serta alam sekitar agar dengan itu mereka sedar akan kewujudan Pencipta yang menciptakannya. Dengan kesedaran ini, hendaklah mereka kembali menyembah kepada Tuhan Pencipta yang sebenar iaitu Allah dan mengikuti agama yang benar iaitu Islam. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Wahai sekalian manusia! Beribadatlah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang terdahulu daripada kamu, supaya kamu (menjadi orang-orang yang) bertaqwa. Dia lah yang menjadikan bumi ini untuk kamu sebagai hamparan, dan langit (serta segala isinya) sebagai bangunan (yang dibina dengan kukuhnya); dan diturunkanNya air hujan dari langit, lalu dikeluarkanNya dengan air itu berjenis-jenis buah-buahan yang menjadi rezeki bagi kamu; maka janganlah kamu mengadakan bagi Allah, sebarang sekutu, padahal kamu semua mengetahui (bahawa Allah ialah Tuhan Yang Maha Esa).
Dalam konsep kerukunan Antara Agama pun Islam juga menekankan kerukunan dan keadilan antara sesama agama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu semua sentiasa menjadi orang-orang yang menegakkan keadilan kerana Allah, lagi menerangkan kebenaran; dan jangan sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum itu mendorong kamu kepada tidak melakukan keadilan. Hendaklah kamu berlaku adil (kepada sesiapa jua) kerana sikap adil itu lebih hampir kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dengan mendalam akan apa yang kamu lakukan. [al-Maidah 5:08]
Selagi mana kaum daripada agama lain tidak menzalimi kita umat Islam, selagi itulah kita dituntut untuk berinteraksi dengan mereka secara adil. Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan hal ini dalam ayat berikut:
Allah tidak melarang kamu daripada berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu kerana agama (kamu), dan tidak mengeluarkan kamu dari kampung halaman kamu; sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanyalah melarang kamu daripada menjadikan teman rapat orang-orang yang memerangi kamu kerana agama (kamu), dan mengeluarkan kamu dari kampung halaman kamu, serta membantu (orang lain) untuk mengusir kamu. Dan (ingatlah), sesiapa yang menjadikan mereka teman rapat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Akan tetapi kaum Liberal telah memberikan pengertian lain tentang Pluralisme agama, yang mana dalam hal ini telah dikenalkan di barat oleh W.C. Smith dengan nama "Universal Theology Of Religion".yang selanjutnya sebelum disebarluaskan ke dunia Islam di kembangkan oleh Jhon Hick dan Hans Kung.
Mereka mengatakan bahawa Pluralisme agama adalah tuntutan penting untuk mencapai kerukunan hidup beragama. Maka atas dasar ini seorang pluralis perlu berusaha untuk tidak bersikap ekslusif dan mendakwakan kebenaran hanya terletak pada agama yang ia anut semata. Setelah itu barulah dialog antar agama akan berlangsung dengan berjayanya.
Memang pluralisme agama adalah sebuah faham tentang pluralitas, faham bagaimana melihat keragaman agama-agama, mengapa dan bagaimana memandang agama-agama, yang begitu banyak dan beragam. Apakah hanya ada satu agama yang benar. Mekipun istilah Pluralsme ini lahir dan berkembang di barat, tetapi istilah ini mulanya tidak di kenal dalam theology resmi gereja. Sebagaimana istilah sekularisme, yang seula tidak dikenal dan bahkan dmusuhi oleh kaum Kristen, kemudian diterima dan dicarikan legitimasinya alam bible.
Sedangkan menurut John Hick, salah satu toko utama paham Religious Pluralism, memberikan gambaran tentang pluralisme adalah suatu perkembangan dari pada inklusivisme, bahawa agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju keparipurnaan (the ultimate) yang sama.
Maka dengan wacana demikian yang hampir para paham pluralisme menyebarkan wordview tersebut pada kalangan awam, timbulah wacana yang baru seolah-olah pluralisme agama adalah suatu keharusan, yang wajib dipeluk oleh setiap agama, mengantikan paham lama (insklusivisme). Siapa yang tidak menganut paham ini bisa jadi dicap sebagai anti-pluralitas dan anti toleransi. Hingga lebih jauh lagi diproklamasikan bahawa semua agama adalah jalan menuju keselamatan, maka tidak ada satu agama pun yang berhak mengklaim sebagai satu-satunya yang benar dan satu-satunya jalan keselamatan.
5. Poligami
Poligami atau dikenal dengan ta`addud zawaj pada dasarnya mubah atau boleh. Bukan wajib atau anjuran. Karena melihat siyaq ayatnya memang mensyaratkan harus adil. Dan keadilan itu yang tidak dimiliki semua orang.
Allah berfirman :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Jadi syarat utama adalah adil terhadapat istri dalam nafkah lahir dan batin. Jangan sampai salah satunya tidak diberi cukup nafkah. Apalagi kesemuanya tidak diberi cukup nafkah, maka hal itu adalah kezaliman.
Sebagaimana hukum menikah yang bisa memiliki banyak bentuk hukum, aka begitu juga dengan poligami, hukumnya sangat ditentukan oleh kondisi seseorang, bahkan bukan hanya kondisi dirinya tetapi juga menyangkut kondisi dan perasaan orang lain, dalam hal ini bisa saja istrinya atau keluarga istrinya. Pertimbangan orang lain ini tidak bisa dimentahkan begitu saja dan tentunya hal ini sangat manusiawi sekali.
Akan tetapi para orientalis, pendeta agama masehi, kelompok sekuleris dan kalangan anti Islam pada hari ini sedang gencar mengkampanyekan gerakan anti poligami. Kampanye mereka itu mulai dari yang bersifat sindiran, pernyataan sinis sampai kepada yang langsung mencaci maki, baik syariat Islam sebagai sebuah sistem hidup maupun pribadi Rasulullah SAW.
Kambing hitam yang selalu disudutkan tidak lain adalah syariat Islam. Menurut mereka, syariat Islam itu tidak sesuai dengan jiwa keadilan, mendorong laki-laki mengumbar syahwat, juga tidak berpihak kepada wanita yang selalu berada dalam posisi terzhalimi. Makan sering kita dapati beberapa tayangan sinetron yang menggambarkan betapa hancurnya sebuah rumah tangga yang melakukan poligami.
Lebih jauh lagi, mereka juga menuduh bahwa Rasulullah SAW adalah budak nafsu, karena menikah dengan 12 orang wanita.. Sehingga mereka menuduh bahwa nabi itu kerjanya tukang kawin dan main perempuan. Nauzu billahi min zalik.
Dalam catatan sirah nabawiyah, Rasulullah SAW tercatat pernah menikahi 12 orang wanita.Yaitu :
1. Khodijah binti Khuwailid RA, ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di Mekkah ketika usia beliau 25 tahun dan Khodijah 40 tahun.
2. Saudah binti Zam'ah RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawwal tahun kesepuluh dari kenabian beberapa hari setelah wafatnya Khodijah. Ia adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya yang bernama As-Sakron bin Amr.
3. Aisyah binti Abu Bakar RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW bulan Syawal tahun kesebelas dari kenabian, Dengan menikahi
4. Hafsoh binti Umar bin Al-Khotob RA, beliau ditinggal mati oleh suaminya Khunais bin Hudzafah As-Sahmi, kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah. Beliau menikahinya untuk menghormati bapaknya Umar bin Al-Khotob.
5. Zainab binti Khuzaimah RA, dari Bani Hilal bin Amir bin Sho'sho'ah dan dikenal sebagai Ummul Masakin karena ia sangat menyayangi mereka. Sebelumnya ia bersuamikan Abdulloh bin Jahsy akan tetapi suaminya syahid di Uhud, kemudian Rasulullah SAW menikahinya pada tahun keempat Hijriyyah. Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormati Ummu Salamah dan memelihara anak-anak yatim tersebut.
6. Zainab binti Jahsyi bin Royab RA, dari Bani Asad bin Khuzaimah dan merupakan puteri bibi Rasulullah SAW. Sebelumnya ia menikahi dengan Zaid bin Harits kemudian diceraikan oleh suaminya tersebut. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di bulan Dzul Qo'dah tahun kelima dari Hijrah.
7. Juwairiyah binti Al-Harits RA, pemimpin Bani Mustholiq dari Khuza'ah. Ia merupakan tawanan perang yang sahamnya dimiliki oleh Tsabit bin Qais bin Syimas, kemudian ditebus oleh Rasulullah SAW dan dinikahi oleh beliau pada bulan Sya'ban tahun ke 6 Hijrah. Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormatinya dan meraih simpati dari kabilhnya (karena ia adalah anak pemimpin kabilah tersebut) dan membebaskan tawanan perang.
8. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA, sebelumnya ia dinikahi oleh Ubaidillah bin Jahsy dan hijrah bersamanya ke Habsyah. Suaminya tersebut murtad dan menjadi nashroni dan meninggal di sana. Ummu Habibbah tetap istiqomah terhadap agamanya. Alasan yang paling kuat adalah untuk menghibur beliau dan memberikan sosok pengganti yang lebih baik baginya. Serta penghargaan kepada mereka yang hijrah ke Habasyah karena mereka sebelumnya telah mengalami siksaan dan tekanan yang berat di Mekkah.
9. Shofiyyah binti Huyay bin Akhtob RA, dari Bani Israel, ia merupakan tawan perang Khoibar lalu Rasulullah SAW memilihnya dan dimeredekakan serta dinikahinya setelah menaklukan Khoibar tahun 7 Hijriyyah. Pernakahan tersebut bertujuan untuk menjaga kedudukan beliau sebagai anak dari pemuka kabilah.
10. Maimunah binti Al- Harits RA, saudarinya Ummu Al-Fadhl Lubabah binti Al-Harits. Ia adalah seorang janda yang sudah berusia lanjut, dinikahi di bulan Dzul Qa'dah tahun 7 Hijrah pada saat melaksanakan Umroh Qadho.
Bahkan menurut mereka dalam mensikapi Poligami solusi yang ditetapkan dalam al-qur’an adalah solusi sementara, tidak bersifat permanan dan tidak berarti membenarkan keberadaan poligami itu sendiri. Poligami hanyalah solusi terhadap problem anak yatim yang sesuai untuk diterapkan pada abad ke-7. dimana pada saat itu poligami telah dipraltikan secara luas, sehingga tidak dapat dikatakan bahawa Poligami adalah hukum Qur’an.
Dan rupanya kampanye itu berjalan sangat efektif dalam menyudutkan Islam, karena mampu menggerakkan banyak kalangan yang tidak sehat berpikir termasuk para aktifis wanita untuk ikut-ikutan menyudutkan Islam. Dan dengan bahasa wanita, mereka terus menggelembungkan semangat anti poligami sekaligus semangat anti Islam di kalangan publik terutama di kalangan wanita.
Anehnya, sebagian dari tokoh agama yang terlalu dekat dengan kalangan mereka pun ikut-ikutan menentang poligami, lalu mensitir sekian ayat dan hadits yang diplintir sedemikian rupa untuk menentang keabsahan poligami dalam Islam. Entah karena mau dibilang moderat atau motavasi lainnya.
6. Nikah beda agama
Aturan Allah terkait pernikahan antara Muslim/Muslimat dengan calon pasangan yang mempunyai agama lain, terdapat dalam Surat Al Baqarah ayat 221:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnnya ayat Al-Qur’an) dari surat Al Baqarah 221 tersebut diriwayatkan dalam hadist, yaitu ketika seorang sahabat Abdilah bin Rawahah, datang kepada Rasulullah menceritakan perbuatannya yang telah memukul hamba perempuannya yang hitam kelam dan jelek karena marah, dia merasa menyesal dan meminta petunjuk Rasulullah. Rasulullah bertanya : “Bagaimana keadaan hamba sahaya tersebut..?”, Abdilah menjawab bahwa budaknya itu seorang muslimah yang ta’at,. Rasulullah kembali berkata :”Wahai Abdilah, dia itu adalah seorang yang beriman”. Maka Abdilah menimpali :”Demi Zat yang mengutusmu dengan hak, aku akan memerdekakannya dan menikahinya..”. Peristiwa tersebut memancing penghinaan dan rasa sinis dari masyarakat, karena menganggap Abdilah menikahi budaknya yang hina dan jelek. Sehubungan dengan hal tersebut turunlah wahyu Allah. Seiring dengan itu Nabi Muhammad SAW bersabda :”Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, sebab kecantikan itu akan sirna. Janganlah kamu menikahi wanita karena hartanya, karena suatu sa’at harta tersebut bisa menyesatkan. Nikahilah wanita karena agamanya. Seorang hamba sahaya yang hitam kelam dan jeles parasnya lebih utama sepanjang dia beriman kepada Allah”.
Bukhari Muslim meriwayatkan hadist :”Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah yang mempunyai agama, tentu kamu berbahagia”.
Dari Asbabun Nuzul dan hadist Nabi diatas, terlihat bahwa larangan Allah dan anjuran Rasulullah untuk tidak menikahi wanita musyrik, bukanlah merupakan larangan yang ditujukan secara khusus, tapi lebih sebagai pembanding, bahwa dalam ajaran Islam seorang budak wanita yang beriman dan ta’at, dinilai lebih baik dari pasangan yang musyrik. Sebaliknya bagi wanita muslimah, pernyataan Allah tersebut lebih ditujukan kepada walinya, bukan kepada orangnya, ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan ajaran ini, pihak wali-lah yang dituntut untuk berperan dalam menerapkannya. Allah terlihat ‘mengerti betul’ bahwa dalam kasus-kasus pernikahan beda agama, masalahnya sangat kompleks karena banyak menyangkut soal perasaan, cinta dan kasih sayang, suatu hal yang pada dasarnya sering diluar kontrol manusia, makanya secara keseluruhan redaksi ayat itu terkesan bersifat ‘mengingatkan’, dan diakhiri dengan : Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran, Allah seolah-olah mau mengatakan : “Inilah perintah-Ku, pikirkanlah baik-baik..”.
Aturan ini sebenarnya sangat jelas, yaitu memakai kata ‘janganlah’, artinya jangan itu: dilarang, tidak boleh, tidak diizinkan. Akan tetapi ketika sampai kepada penafsiran kelompok Liberal kata ‘orang-orang musyrik’ laki-laki dan wanita, dimunculkan perbedaanya dalam penafsiran. Umumnya para ulama menyatakan orang musyrik itu adalah yang beragama selain Islam, sedangkan dipihak Liberal dimotori oleh pemikir-pemikir Islam penganut liberalisme dan pluralisme, ‘mempertajam’ istilah orang musyrik ini adalah ‘kaum musyrik yang bersikap memusuhi Islam’ ibaratnya musyrik Makkah pada waktu ayat tersebut diturunkan, seperti pernyataan dibawah ini :
Kalaupun ada larangan PBA (Pernikahan Beda Agama), persoalannya bukan an sich masalah agama. Ada kategori dan variable-variabel sosial yang terkait dalam penafsiran yang bersifat teologis. Memang, ada ayat yang mengatakan, “Janganlah menikahi orang-orang musyrik… (lihat, QS. 2: 221, Red). Dalam bahasa Arab, kosakata al-musyrikât itu menunjuk pada barang atau komunitas tertentu (al-ma’rifah). Ini bukan nakirah, tapi menunjuk pada komunitas tertentu yang ditentang. Al-musyrikât itu kategori sosial, bukan hanya persoalan teologi yang berarti orang yang tidak bertuhan.__Nah, saya kira, orang musyrik yang disinggung dalam ayat itu merupakan gambaran orang-orang Quraisy Mekkah yang sangat agitatif terhadap komunitas umat Islam yang saat itu baru terbentuk. Kita bisa bayangkan, kalau begitu sengit permusuhannya terhadap Islam, bagaimana mungkin kita akan menjadikannya sebagai pasangan hidup? Isu yang paling mendasar dari larangan PBA adalah masalah sosial-politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis.
Sebab dari pada kesalah fahaman mereka dalam pengartian konsep nikah beda agama tersebut ditimbulkan dari adanya tafsir-tafsir yang memahai ayat nask (al-Qur’an) mengunakan pendekatan hermeneutika, sehingga dengan demikian akan munculnya keraguan terhadap kebenaran Islam, yang bersifat mutlak dan Absolut. Biasanya para pendukung hermeneutika sangat akrab dengan istilah dan jargon-jargon populer iaitu “bedakan antara agama dan Keberagamaan”, “jangan mengsucikan pemikiran keagamaan”, agama adalah mutlak sedangkan pemikiran keagamaan adalah relatif”, manusia adalah relatif, karena itu semua pemikiran produk akal manusia adalah relatif juga, dan tafsir tidaklah semutlak seperti wahyuy itu sendiri.”
I. Penutup
Bagaimanapun disiar-siarkannya dan digede-gedekannya, namun dengan bukti-bukti ketidak ilmiahan dan ketidak sohihan pemikiran orang Pluralis yang kini menamakan diri Islam Liberal itu, menurut terminologi Al-Qur'an tidak lebih hanyalah bagai buih yang tidak ada harganya dan tak ada gunanya.
Maksudnya:
"Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan."
Islam yang benar adalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, pemahaman Islam yang benar adalah yang sesuai dengan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, diamalkan dan diwarisi oleh para sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in.
Islam yang disampaikan Nabi saw dan diamalkan bersama para sahabatnya itulah yang jadi teladan bagi umat Islam selanjutnya. Karena, di kala ada kesalahan atau kekurangan maka langsung ada teguran dari Allah SWT lewat wahyu. Selanjutnya, untuk mengamalkan Islam, maka landasannya adalah Al-Qur'an, As-Sunnah/ Hadits Nabi saw, dan ijma' (kesepakatan) para sahabat.
Setelah jelas bahwa landasan atau sumber Islam itu adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma', maka dalam hal pemahaman yang shahih adalah pemahaman yang sesuai dengan pemahaman para sahabat, tabi'ien, dan tabi'it tabi'ien. Karena merekalah sebagai generasi umat yang terbaik, menurut hadits shahih dari Nabi saw:
"Sebaik-baik generasi ialah generasiku, kemudian orang-orang sesudahnya, dan orang-orang sesudahnya lagi. Lalu akan datang orang-orang yang kesaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya." (HR Al-Bukhari).
J. Bibliografi
Adian Husain (2005) Wajah Peradaban Barat, dari hgemoni Kristen ke Dominasi secular- Lieral. Jakarta: Gema Insani.
____________(2006), Hegemoni Kristen-Barat dalam studi Islam diperguruan tinggi. C.1.Jakarta:Gema Insani.
_____________dan Nuim Hidayat (2004 )Islam Liberal, Sejarah, konsepsi, penyimpangan dan jawabanya. C.3.Jakarta: Gema Insani.
Ahmad Al-Usairy (2003) Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam hingga abad XX. Samson Rahman (terj).Jakarta: Akbar media eka sarana
Budi Handriyandto (2007) tokoh Islam Liberal Indonesia.pengusung ide sekularisme, pluralisme dan liberalisme Agama. Jakarta: Hujjah press.
Farid Achmad Okbah, M.Ag. http://alislamu.com. Thursday, 14 March 2002
Khalif Muammar (2006) Atas Nama Kebenaran, tanggapan kritis terhadap Wacana Islam Liberal. Kuala Lumpur : Akademi Kajian Ketamadunan.
Khalif Muammar A. Harris http://alislamu.com/
Lutfy Asyaukani. http:// www.Islamlib.com.
Marzuki Wahid & Rumadi (2001) Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas politik Hukum Islam di Indonesia.Jogjakarta:LkiS.
Nuryamin Aini http://www.islamlib.com.
Radihah Saari (2008) Faham Sunni dan Keserhanaan Islam. Kuala Lumpur: Sinar Rohani: Julai-Ogos
Sholahuddin Hendri (2007) Al-Qur’an Di Hujat.Jakarta: Al_Qalam. Gema Insani.
Sidiq Fadzil. Prespektif Qur’ani; Siri Wacana Tematik.Kajang: Biro Dakwah dan Tarbiyah ABIM pusat.
Siti Ruhaini Dzuhayatin http://www.komunitasdemokrasi.or.id/
Sukran Kamil (2001) Islam dan Demokrasi; telaah konseptual dan Historis. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Syekh Yusuf Al-Qardhawi (2001) Al-Muslimun wal A'ulamah (Islam dan Globalisasi Dunia), c.1. Jakarta: Pustaka Al-Kaustar.
Taarauf bersama Islam Liberal http://pemuda-insaf.blogspot.com/.
Ugi Suharto (2007) Pemikiran Islam Liberal Pembahasan Isu-Isu Sentral. Selangor: Dewan Pustaka Pelajar.
Ulil abshar Abdhallah.http:// www.Islamlib.com.