Rabu, 29 Oktober 2008

KONSEP TRANSAKSI PERNIAGAAN BERBASIS MUDHARABAH


Oleh Syamsuri
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap manusia dalam aktifitasnya baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi tidak lepas dari pada tujuan (maqosyid) dari apa yang akan ia peroleh selepas aktifitas tersebut, dengan berbagai macam perbedaan sudut pandang manusia itu sendiri terhadap esensi dari apa yang hendak ia peroleh, maka tidak jarang dan sanggat tidak menutup kemungkinan sekali proses untuk menuju pada tujuan maqosyidnya pun berwarna-warni.


Salah satu contoh dalam aktifitas sosial-ekonomi, banyak dari manusia sendiri yang terjebak dalam hal ini, lebih mengedepankan pada pemenenuhan hak pribadi dan mengabaikan hak-hak orang lain baik hak itu berupa individu ataupun masyarakat umum. Akan tetapi Islam sebuah agama yang rahmatan lil-alamin mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia, sehingga norma-norma yang diberlakukan islam dapat memberikan solusi sebuah keadilan dan kejujuran dalam hal pencapaian manusia pada tujuan daripada aktifitasnya itu, sehingga tidak akan terjadi ketimpangan sosial antara mereka.
Maka tidak jarang diantara kita yang acap kali menemukan ayat dalam kitab suci Al-Qur'an yang mendorong perdagangan dan perniagaan, dan Islam sanggat jelas sekali menyatakan sikap bahwa tidak boleh ada hambatan bagi perdagangan dan bisnis yang jujur dan halal, agar setiap orang memperoleh penghasilan, menafkahi keluarga, dan memberikan sedekah kepada mereka yang kurang beruntung . Mengacu pada prisip-prinsip hukum yang telah ditetapkan ajaran Islam dalam hal transaksi perniagaan yaitu: (1) penjualan (bay'), (2). Sewa (ijarah), (3). Hadiah (hibah), (4). Pinjaman (ariyah). Empat macam kemitraan ini diterapkan pada berbagai macam transaksi khusus. Salah satunya adalah kemitraan yang bersifat mudharabah. Melihat pada bahasan singkat diatas penulis berminat untuk membahasa lebih lanjut tentang konsep transaksi Mudharabah.

1.2. Definisi Mudharabah Secara istilah, mudharabah berarti: akad kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan nisbah (prosentase) yang disepakati sebelumnya. Sedangkan menurut Wulama’ Hijaz wahbah az-Zuhayli :pemilik modal menyerahkan hartanya kepada pengusaha untuk diperdagangkan dengan pembagian keuntungan yang disepakati dengan ketentuan bahawa kerugian ditangung oleh pemilik modal, sedangkan pengusaha tidak dibebani kerugian sedikitpun kecuali kerugian berupa tenaga dan kesungguhanya.
Dan pada dasarnya Syarikah mudharabah memiliki dua istilah. Yaitu mudharabah dan qiradh. Sesuai dengan pengunaanya di kalangan kaum muslim itu sendiri. Penduduk iraq sering menggunakan istilah mudharabah untuk menyebutkan transaksi syarikat ini. Yang artinya, melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang . Allah berfirman.
Artinya : " Dia mengetahui bahwa akan ada diantara kamu orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagaian karunia Allah; dan orang-orang lain lagi yang berperang di jalan Allah" (Al-Muzzammil:20)
Ada juga yang mengatakan di ambil dari kata dharb (mengambil) keunutngan saham yang dimiliki. Sedangkan menurut para ulama', istilah syarikah mudharabah memiliki pengertian, yaitu pihak pemodal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan pemodal berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.
Tidak jauh beda definisi mudharabah menurut afzal-ur-rahman dalam bukunya doktrin Ekonomi Islam mengatakan bahwa mudharabah adalah perkongsian berhad merupakan suatu kontrak perkongsian, kontrak ini berdasarkan prinsip kongsi untung, apabila seseorang individu lain untuk digunnakan dalam perniagaan. Kemudian kedua-dua pihak akan berkongsi keuntungan ataupun kerugian mernurut syarat-syarat yang telah dipersetujui secara matual.
Sedangkan mudharabah menurut Mervyn K. Lewis & Lativa M.Al-Qaoud adalah sebagai sebuah perjanjian diantara paling sedikit dua pihak dimana satu pihak, pemilik modal (shohibul mal) mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudhorib), untuk menjalankan seuatu aktifitas atau usaha.
Dari beberapa definisi diatas dapatlah penulis simpulkan bahwa: Syirkah mudharabah mengharuskan ada dua pihak, yaitu pihak pemilik modal (shahibul maal) dan pihak pengelola (mudhorib). Pihak pemodal menyerahkanmodalnya dengan akad wakalah kepada seseorang sebagai pengelola untuk dikelola dan dikembangkan menjadi sebuah usaha yang menghasilkan keuntungan (profit). Keuntungan dari usaha akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, dan manakala terjadi kerugian bukan karena kesalahan manajemen (kelalaian), maka kerugian ditanggung oleh pihak pemodal.
1.3. Sumber Dasar Hukum Mudharabah
Para ulama telah sepakat, sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah ijma’ ulama yang membolehkannya, seperti dinukilkan Ibnu Hazm yang mengatakan:
“Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang kita ketahui –alhamdulillah- kecuali qiradh (mudharabah, -pen). Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Namun dasarnya adalah ijma yang benar. Yang dapat kami pastikan, hal ini ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengetahui dan menyetujuinya. Dan seandainya tidak demikian, maka tidak boleh”
Kaum Muslimin sudah terbiasa melakukan kerja sama semacam itu hingga jaman sekarang ini, di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun-temurun, dari zaman jahiliyah hingga zaman Nabi, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.
قال الله تعالى في كتابه الكريم : أحل الله البيع و حرم الربا
Artinya : Allah telah menghalalkan Jual beli dan mengharamkan riba...(Q.S.Al-Baqarah:275)
Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah” (QS.Al Mujammil:20)
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (Rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (QS.Al Baqarah: 19
Diantara hadits yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Syuhaib bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain) dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjual belikan” (HR. Ibnu Majah dan Shuhaib)
Dalam hadits yang lain diriwayatkan oleh Tabrani dan Ibnu Abbas bahwa Abbas Ibn Muthalib jika memberikan harta untuk mudarabah, dia mensyaratkan kepada pengusaha untuk tidak melewati lautan, menuruni jurang dan membeli hati yang lembab. Jika melanggar persyaratan tersebut ia harus menanggungnya. Persyaratan tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW dan beliau memperbolehkannya.

1.4. Sejarah Perkembangan Transaksi Mudharabah
Pada dasarnya awal mula munculnya sejarah perkembangan sistem mudharabah mana kala para ulama’ fiqh membicarakan tentang riba, ketika mereka memecahkan permasalahan muamalah. Karena banyak ayat al-Qur’an yang membicarakan riba yang sesuai dengan periode larangan, sampai akhirnya datang larangan secara tegas pada akhir periode penetapan hukum riba. Karena pada hakekatnya riba telah dikutuk oleh agama samawi baik yang termaktub dalam perjanjian lama maupun perjanjian baru.
Kajian tentang larangan riba dalam konteks islam telah jelas dinyatakan dalam kitab suci al-Qur’an surah al-baqoroh: 278. Larangan tersebut pada dasarnya didasarkan pada suatu peristiwa atau asbabun nuzulnya ayat yang dinyatakan berkenaan dengan pengaduan bani mughiroh kepada Gubernur Mekkah setelah Fathu Makkah, yaitu ‘Attab bin As-yad tentang hutang-hutangnya yang beriba sebelum ada hukum penghapusan riba, kepada Banu Amr bin Auf dari suku Staqif. Banu Mughiroh berkata kepada ‘Attab: kami adalah manusia yang menderita akibat dihapusnya riba. Kami ditagih membayar riba oleh orang lain, sedangkan kami tidak mau menerima riba karena mentaati hukum penghapusan riba.”
Dari peristiwa ini, jelas bahwa setelah datangnya hukum yang tidak memperbolehkanya praktek riba, baik dalam bentuk kecil maupun besar, maka praktek tersebut segera berhenti dan dinyatakan berakhir. Maka dari sinilah muncul beberapa bentuk transaksi-transaksi islami yang mencoba untuk menjauhi praktek ribawi, salah satunya adalah sistem transaksi mudharabah.
Pada awalnya mudharabah terbentuk dari dua istliah yang saling melengkapi arti dan maksudnya yaitu mudarabah dan Muqorobah, yang semuanya bermaksud untuk memeberikan uang untuk pinjaman bagi tujuan perniagaan. Penduduk Iraq menggunakan istilah mudharabah untuk menyebut transaksi syarikah ini. Disebut sebagai mudharabah, karena diambil dari kata dharb di muka bumi. Yang artinya, melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang.
Praktik ini kerab diberinama begitu karena darib berhak menerima bagaian tertentu daripada keuntungan berdasarkan usaha dan tenaganya. Pada masa dahulu seorang darib terpaksa berjalan di atas muka bumi dalam jarak yang jauh bagi membawa barang dagangganya untuk mendapatkan keuntungan. Dalam istilah undang-undang, mudharabah, bermaksud satu kontak perkongsian yang melibatkan seseorang rakan (yang dinamakan pemilik saham) yang berhak terhadap keuntungan berdasarkan stoknya yang mana beliau menjadi rabbi mal, atau pemilik saham (yang disitilahkan sebagai ras mal, dan rakan yang satu lagi berhak terhadap keuntungan berdasarkan tenaganya. Beliau mennjadi darib (atau pengurus harta). Oleh sebab itu beliau mendapatkan keuntungan berdasarkan usahanya atau tenaga yang ia keluarkan dalam usaha itu.


BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG MUDHARABAH
2.1. Jenis Mudharabah
Taransaksi mudharabah pada dasarnya terbagi menjadi dua macam jenis, yaitu:
2.1.1. Mudharabah mutlaqoh
Bersifat tidak terbatas. Pada jenis ini pihak shohibul mal memberikan otoritas dan hak sepenuhnya kepada mudhorib untuk menginvestasikan atau memutar uangnya. Atau tidak adanya pembatasan dalam spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis

2.1.2. Mudharabah muqayyadah
Bersifat terbatas. Sedangkan pada sistem ini pihak shohibul mal memberikan batasan tertentu dalam usahanya kepada mudhorib, misalnya; jenis investasi, tempat investasi, serta pihak-pihak yang diperbolehkan terlibat dalam investasi. Pada jenis ini pula shohibul mal dapat mensyaratkan kepada mudharib untuk tidak mencampurkanhartanya dengan dana al-mudharobah.

2.2. Rukun Transaksi Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni lafadz yang menunjukkan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalat atau kata-kata yang searti dengannya.
Sedangkan menurut Jumhurul ulama, rukun mudharabah ada tiga hal yaitu: adanya (1). Al-Aqidaini; dua aqad antara mudharib dan darib, (2). Ma’qud alaih ; adanya sesuatu yang diaqadkan, (3). Shighot; lafadz ijab maupun qobul antara dua pihak. Sedangkan menurut Hanafiyah rukun Mudharabah dibagi menjadi tiga: iaitu
a. adanya dua pihak yang berakad (pemilik modal dan penguhasa)
b. materi yang diperjanjikan, mencukupi modal usaha dan keuntungan.
c. Sighaoh (ijab dan qobul)
Sedangkan mernurut Gemala Dewi dkk, mengemukakan rukun Mudharabah ada empat hal iaiatu:
a. pemodal dan pengelola
b. Sighoh (ijab dan Qobul)
c. Modal
d. Nisbah keununtungan.

2.3. Syarat Sah transaksi Mudharabah
Adapun dalam kitab Doktrin ekonomi Islam Af-zalurrahman mengutip daripada beberapa kajian tentang sistem ini, ia mengatakan bahwa ulama’ islam (terutama keempat-empat imam sunni), telah mengkaji mendalam dan menentukan sifat dan skop sebenarnya tentang kontrak syrkah dan mudharabah dan sekaligus perbedaan diantara keduanya. Mereka semua setuju bahwa mudharabah adalah halal dan dibernarkan dalam Islam asalakan memenuhi beberapa syarat berikut:
2.3.1. Jika dua orang (atau lebih) berikat janji secara sukarela bilamana satu pihak memberikan modal dana kepada pihak lain untuk memperoleh keuntungan yang akan dibagi bersama.
2.3.2. Apabila ada kesepakatan diantara shohibul mal dan mudharib dalam keuntungan yang mungkin akan dihasilkan dai pada aktifitas ekonomi tersebut dengan membagi sesuai dengan kesepakatan mereka berdua seperatus atau nisbah dari pada jumlah keuntngan.
2.3.3. Akan tetapi apabila berlaku kerugian, darib tidak akan mendapatkan apa-apa bagi kerjanya, dan semua kerugian itu ditanggung sepenuhnya oleh shohibul mal.
2.3.4. Modal itu harus diserahkan kepada pihak lain dengan akad untuk tujuan mudharabah.
2.3.5. Darib bebas untuk berniaga dengan modal yang diamanahkankepadanya itu dengan apa saja cara yang difikirkan baik dan boleh mengambil langkah-langkah yang dirasakan perlu dan betul untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum sesuai dengan ajaran agama atau syari’at Islam.
2.3.6. Tempo perkongsian itu tidak ditetapkan da tidak terbatas tetapi setiap pihak berhak untuk menamatkan kontrak perkongsian itu dengan memberitahukan kepada rekanya.
Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil, namun demikian tidak disyaratkan harus muslim, mudharabah dibolehkan dengan orang kafir Dzimmi.
Adapun ulama malikiyah memakruhkan mudharabah dengan kafir Dzimmi jika mereka tidak melakukan riba dan melarangnya jika mereka melakukan riba.
Adapun syarat sahnya dalam permodalan adalah:
a. Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham atau sejenisnya.
b. Modal harus diketaui dengan jelas dan memiliki ukuran.
c. Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak harus berada ditempat.
d. Modal harus diberikan kepada pengusaha
Sedangkan syarat sahnya dalam Laba adalah:
a. Laba harus memiliki ukuran
b. Laba harus berupa bagian yang umum atau (masyhur)



BAB III
KONSEP TRANSAKSI MUDHARABAH DAN MEKANISMENYA

3.1. Esensi dan Mekanisme Transaksi Mudharabah
3.1.1. Sifat kontrak Mudharabah
Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum dalam landasan sistem syari’ah secara keseluruhan. Secara syari’ah prinsip berdasarkan pada qoidah mudharabah. Berdasarkan prinsip ini dharib akan sebagai mitra baik dengan shahibul mal demikian juga kepada pengusaha/nasabah yang meminjam harta.
Sedangkan dengan penabung, pihak pengelola mal akan menjadi sebagai mudharib, sementara penabung mal bertindak sebagai penyandang dana (shohibul mal). Antara kedua belah pihak ini maka diadakanlah kontrak kesepakatan pembagian keuntungan maupun kerugian yang kemungkinan akan terjadi, sesuai dengan analisa dan kesepakatan diantara mereka berdua.
Sedangkan disisi lain, dengan pengusaha/ atau peminjam dana pihak pengelola dana dari shohibul mal yang awalnya sebagai mudharib akan menjadi shohibul mal, sementara itu pihak peminjam yang akan mengelola dana tersebut akan menjadi mudharib.
Kalau kita gambarkan dalam bagan sebagai berikut:







3.1.2. Peraturan Sistem Mudharabah
Al-Jazari telah menerangkan dengan mendalam mengenai peraturan-peraturan yang mengawasi kontrak mudharabah dengan memberikan gambaran yang sanggat jelas mengenai jenis perkongsian ini.
Peraturan itu dapat diringkas sebagai berikut:
3.1.2.1 Darib memiliki stok modal sebelum dia memulai perniagaanya sebagai seorang pemegang amanah, ini bermakna bahwa dia mempunyai hak terhadap modal atau harta pemilik itu sebagai amanah.
3.1.2.2 Apabila darib memuali perniagaan maka dia berfungsi sebagai pengusaha / penggelola bagi pemilik modal itu dan mewakilkanya dalam rangka ruang lingkup kekuasaanya.
3.1.2.3 Penggelola akan mendapat sham tertentu daripada keuntungan yang diperoleh dalam perniagaan itu, sesuai dengan perjanjian dalam pembagianya.
3.1.2.4 Jika perusahaan melanggar syarat-syarat kontrak maka dia telah dinggap bersalah.
3.1.2.5 Jika kontrak itu bathal atau gagal, darib dianggap sebagai pekerja dan keseluruhan keuntungan dan kerugian dalam perniagaan akan ditanggung oleh shohibul mal.
3.1.2.6 Jika semua keuntungan itu dibagikan kepada pemilik modal, maka darib mempunyai kuasa dalam kontrak itu untuk membeli barang-barang dalam kuantiti yang tertentu sebagai imbalan kepada tenaganaya tetapi dia tidak boleh menerima gajinya.
Jika seluruh keuntungan diambil oleh darib, urusan perniagaan dianggap sebagai satu pinjaman dan dia berhak terhadap semua keuntungan itu dan jika terjadi kerugian maka dia terpaksa mengantinya.

3.1.3. Mekanisme Sietem Transaksi Mudharabah
Dalam sistem mudharabah pemilik saham atau mal tidak diberikan peranan dalam pengelolaan atau memenej perusahaan. Konsekwensinya mudharabah merupakan perjanjian yang diperoleh para pemberi pinjaman adalah suatu bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang telah mereka biayai.
Sedangkan mudharib menjadi pengawas amin, untuk modal yang dipercayakanya kepadanya dengan cara mudharabah. Mudharib harus mengunakan dana dengan cara yang telah disepakati dan kemudian mengembalikan kepada shohibul mal modal dan bagian keuntungan yang telah disepakati sebelumnya. Mudhorib menerima sisa uang itu sendiri untuk keuntunganya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mekanisme transaksi ini yaitu;
3.1.3.1 Pembagaian keuntungan di antara dua pihak tentu saja harus secara proposional dan tidak dapat memberikan keuntungan sekaligus atau yang pasti kepada shohibul mal.
3.1.3.2 Shohibul mal, tidak bertanggung jawab atas kerugian-kerugian di luar modal yang telah diberikan.
3.1.3.3 Mudharib tidak turut menanggung kerugian kecuali kerugian waktu dan tenaganya.
Model perjanjian semacam ini bisa sederhana bisa juga menjadi rumit, sesuai dengan jenis yang dikehendaki oleh kedua belah pihak tersebut. Karena seperti yang dikemukakan diatas dalam jenis macam-macam mudharabah itu sendiri ada dua macam baik secara mugaiyad maupun mutlaqoh.








Pengambilan modal pokok



3.1.4. Penghitungan margin laba dan bagi hasil
Dana yang telah masuk yang diterima mudharib dari shohibul mal, perlu dikelola dengan penuh amanah dan istiqoimah. Dengan harapan dana tersebut mendatangkan keuntungan yang besar, baik untuk nasabah maupun penggelola dana. Prinsip utama yang harus dikembangkan dan ditanamkan dalam proses penggelolaan dana dari shohibul mal adalah mudhorib harus mampu memberikan hasil kepada shohibul mal minimal sama dengan atau lebih besar dari suku bunga yang berlaku di sistem konvensional yang jelas menggunakan unsur ribawinya, dan mampu menarik bagi hasil dari debitur lebih rendah dari pada bunga yang diberlakukan pada bank konvensional.
Oleh karena itu, upaya manajemen dana perlu dilakukan secara baik. Baiknya menajemen dana yang dilakukan mudhorib akan menunjukan kredibilitas didepan kepercayaan shohibul mal untuk memberikan pinjaman atau menyimpan dananya kepadanya.

3.1.5. Contoh Studi Kasus bagi hasil
Bapak Ahmad memiliki deposito RM 1.000,00 jangka waktu satu bulan (1 desember 2008 s/d 1 januari 2009), dan nisbah bagi hasil antara nasabah (shohibul mal) dan mudhorib 57 % : 43 %. Jika keuntungan mudhorib yang diperoleh untuk deposito satu bulan per 31 desember 2008 adalah RM 2.000,00 dan rata-rata deposito jangka waktu 1 bulan adalah RM 95.000,00 berapa keuntungan yang diperoleh bapak Ahmad ?
Jawab:
Keuntungan yang diperoleh bapak Ahmad adalah:
(Modal dana pak Ahmad : jumlah rata-rata deposito) x keuntungan Mudhorib dalam jangka 1 tahun x Nisbah untuk Shohibul mal .
Jadi;
(RM 1.000,00 : RM 95.000,00) x RM 2.000,00 x 57 % =
(0,0105263) x 2.000 x 0,57 = RM 12

3.2. Skim pembiayaan Transaksi Mudharabah

Prinsip mudharabah dapat diterapkan dalam kondisi bank membiayai secara penuh sebuah usaha (100 % dana dari bank, nasabah hanay memiliki profesionalisme dan busnis plan sahaja). Maka dalam pembiayaan mudharabah dapat di gambarkan sebagai berikut:









3.3. Aplikasi Transaksi Mudharabah dan manfaatnya dalam perbankan
Sistem transaksi mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah dirterapkan pada;
a. tabungan berjangka, iaitu tabungan yang dimaksudkan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban. Sering disebut dengan istilah deposito biasa.
b. deposito spesial, dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya hanya dalam murabahah atau ijarah sahaja.
Adapun dalam pembiayaanya ia dapat diterapkan pada:
a. pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
b. investasi khusus (muqoyadah) diaman sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah diterapkan oleh shohibul mal.
Adapun manfaat daripada penerapan transaksi mudharabah ini ialah:
a. bank akan menikmati peningkatan hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
b. bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
c. pengemnbalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
d. bank akan lebih selektif dan hati-hati bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibahagikan
e. prinsip bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi atau krisis ekonomi

3.4. Kelemahan Operasional Investasi dana Mudharabah
Berdasarkan teori perbankan kontemporer sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad dalam jurnal Hukum dan Ekonomi Islam (IJTIHAD) dan beliau adalah salah satu pengamat dan ketua badan Pengawas Syari’ah di Indoensia, ia mengataka ada beberapa kelemahan dalam operasional Investasi dana bagi hasil (mudharabah). Menurutnya beberapa faktor yang menyebabkan keleman-kelemahan tersebut timbul ialah:
3.4.1. Standar Moral
Terdapat anggapan bahawa standar moral yang berkembang dikomunitas muslim tidak memberikan kebebasan penggunaan bagi hasil sebagaimana mekanisme investasi. Hal ini berdasarkan argument yang mendioring bangk untuk mengadakan pemantauan lebih intensif terhadap setiap infestasi yang diberikan. Yang demikian itu membuat operasional perbankan berjalan tidak ekonomis dan tidak efisien.
3.4.2. Ketidak efektifan model pembiayaan bagi hasil
Pembiayaan bagi hasil menyediakan berbagai macam kebutuhan pembiayaan dari ekonomi kontemporer. Walalupun pembiayan siterm muddharabah dan musyarakah merupakan alat yang terbaik untuk menghapis bunga dalam berbagai macam transaksi pembiayaan jangka pendek. Namun kemungkinan untuk dilakasanakan kedalam pembiayaan institusional menjadi terlambat.
3.4.3. berkaitan dengan para penguhasa
sistem bagi gasuk untuk membantu perkembangan usaha lebih bantak melibatkan pengusha secatra langsing dari pada sistem lainuyapada bangk konvensional, bank syari;ah memerlukan informasi yang lebih rinci tentang aktivitas bisnis yang dibiyai dan besar kemungkinan pihak bangk turut mempengaruhi setaop pengambilan keputesan bisnis mitranya.
3.4.4. dari segi biaya
pemberian pinjaman berdasarkan sistem bagi hasil memerlukan kewsaspadaan yang lebih tinggi dari pihak bangk, maka bank syari’ah kemungkiann besar meningkatkan kualitas pegawainya dengan cara mempekerjakan para teknisi dan agli manajemen untuk mengevaluasi proyek usaha yang dipinjami untuk mencermati lebih terliti dan lebih jeli daripada teknis peminjaman pada bank konvensional. Sehingga hal ini akan meningkatkan pengeluaran dan selanutnya akan mempengaruhi pembiayaan.
3.4.5. segi teknis
dalam segi teknisnya ada beberapa yang mengalami problem bahkan termasuk pada pihak bank sendiri, nasabah, dan perhitungan keuntungan. Kurangnya tenaga profesional dan keahliaan dalam pengatahuan bidang ini, serta dalam mengunakan sistem bagi hasil maka pihak bank haruslah mempunyai pengetahuan yang luas untuk mengenai prilaku aktifitas ekonomi yang berguna untuk memperidiksi dalam keuntungan yang akan diperoleh pada tiap-tiap sektor, serta tentang keadaan keuangan investor dan kommitmenya dalam menjalankan proyek ini. Sedangkan dari sisi nasabah banyaknya ke butahurufan di kalangan masyarakat muslim, secara tidak disadari hal ini akan menyulitkan dalam pembuatan catatan akuntansi secara terperinci.
3.4.6. kurang menariknya sistem bagi hasil dalam bisnis
dalam dunia bisnis dan industri, biaya yang dikeluarkan dari mdana-dana yang diperoleh berdasarkan sistem bagi hasil tidak diketahui secara jelas dan pasti. Hal ini akan menimbulkan terbongkarnya rahasia keungan pengusaha oleh pihak bank dan juga investasi bank terhadap urusan manajemen pengusaha.
3.4.7. permasalahan efisiensi.
Tingkat investasi bagi hasil memungkin tinggi dibandingkan dengan sistem lainya. Karena dalam sistem bagi hasil ditawarkan apa-apa yang sesuai terhadap dana yang dipinjamkan. Oleh karena pengusaha dapat mengabaikan kepastian bagian hasil usaha yang diberikan kepada pemberi pinjaman yang disebabkan ketidak tentuan hasil produksinya, serta tidak adanya kehawatiran bila ada penyelewengan dana pinjaman terhadap investasi riil.

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dalam uraian di atas tampak jelas sekali bahwa syariah Islamiyah sebagai manhajul hayah muslim telah mengakomodasi segala kebutuhan muslim sekaligus memberikan arahan dan rambu-rambu dalam segenap aspek ibadah, siyasah dan muamalah. Maka sanggatlah jelas sekali tidak ada keraguan lagi bagi siapa saja yang menyakini akan kebenaran islam, niscaya ia dalam segala bentuk aktifitasnya akan disandarkan pada dasar dan aturan Islam, yang sudah barang tentu memberikan kemaslahatan untuk dirinya maupun orang lain.

4.2. Bibliografi
Afzal-ur-rahman,(1994) doktrin ekonomi Islam, dewan bahasa dan pustaka Kuala lumpur, alih bahasa Hamad Osman,
Gemala Dewi dkk (2006) Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group,
http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/lks_lbs.php?id=69. diakses 23 juli 2008.
Latifa M.Algout dan Mervyn K.Lewis (2001) Perbankan Syari'ah prinsip praktik dan konsep,. Jakarta: serambi
Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X. Penerbit, Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta:solo. 2006
Muhammad, (2002) Manajemen Bank Syari’ah, Unit penerbit dan percetakan (UPP)AMPYKPN, Yogyakarta.
Muhammad (2006) Konstruk Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. IJTIHAD. Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam. Ponorogo: Fakultas Syari’ah Institut Studi Islam Darussalam Gontor.
Muhammad Syafi’I Antonio (2001) Bank Syari’ah dari Teori ke PRaktek. Jakarta: Gema Insani.
M. Sholehuddin (2007) Asas-asas Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Nawab Syed Haidar Naqui (2003) menggagas Ilmu Ekonomi Islam, e.1.Jogjakarta: pustaka pelajar.
Sunarto Zulkifli (2003) Panduan praktis Transaksi Perbankan Syari'ah. Jakarta: zikrul Hakim.
Wahbah Az-Zuhaily, (1989) Al-Fiqhu Al-Islaamiyu wa Adillatuhu, j.4. Damaskus: Daar Al-Fikri.





1 komentar:

  1. alhamdulillah, kami akan menerapkan konsep berbisnis dengan konsep Mudhorobah. by www.topice99.com

    BalasHapus