Selasa, 12 Mei 2009

BANK SYARI’AH: SUATU KONSEP DAN PRINSIP

BANK SYARI’AH: SUATU KONSEP DAN PRINSIP
Oleh: Syamsuri


A. Pendahuluan
Bank Syariah sebagai lembaga keuangan yang hadir berdampingan dengan bank konvensional secara sistem telah memberikan nuansa baru sekaligus memberikan pilihan baru bagi para nasabah untuk memilih lembaga keuangan yang dapat mengakomodir segala keperluannya di bidang keuangan. Nuansa baru tersebut tentunya bukan suatu hal yang bisa memberikan dampak yang relatif baru dalam waktu relatif singkat tapi memerlukan proses yang penuh perhitungan dengan melihat kesiapannya dalam menerapkan sistem yang dibawanya yang sama sekali berbeda dengan perbankan konvenisonal.
Satu hal yang perlu disadari oleh perbankan syariah adalah bahwa bank syariah adalah sesuatu yang sama sekali terlepas dari cengkraman sistem perbankan konvensional. Bank syariah dituntut bisa melepaskan diri dari tekanan-tekanan yang dialami perbankan konvenisonal untuk menerapkan segala metode yang diterapkan sama sekali terlepas dari bayang-bayang perbankan konvensional.
Hal tersebut bukanlah hal bisa dilakukan secara instant melainkan melalui beberapa proses pengenalan yang mendalam mengenai perbankan syariah mulai dari sistem hingga tujuan yang ingin dicapai perbankan syariah sebagai lembaga keuangan, yang mana salah satu tujuan yang sangat urgen adalah untuk meningkatkan peran lembaga keuangan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejehteraan masyarakat secara umum.
Bank syariah bukanlah lembaga keuangan yang memiliki fungsi “menggandakan uang” nasabahnya melainkan mewadahi uang nasabah-nasabah yang diperoleh untuk meningkatkan nilai manfaat yang dapat diambil dari uang tersebut dengan cara menyalurkannya bukan dengan menumpuknya dan kemudian mendapatkan nilai tambah yang tidak diketahui secara jelas darimana asalnya. Jika saja bank syariah memposisikan diri sebagai lembaga keuangan yang semata-mata melipatgandakan uang nasabahnya maka akan terjadi situasi di mana bank syariah akan menafikan fungsi lainnya yang salah satunya adalah memfasilitasi dunia usaha dengan tambahan modal yang dapat memberikan manfaat secara materi serta tanggung jawab sosial.

B. Latar belakang
Bank syariah sebagai lembaga keuangan memiliki sistem berbeda dengan perbankan konvensional, dalam meluncurkan produk-produknya tentu tidak dapat hanya mengikuti sistem yang telah diciptakan perbankan konvensional dengan sedikit merenovasinya atau mengambil hal-hal yang tidak bertentangan dengan syariah Islam.
Terlepas dari itu bank syariah harus dapat memberikan beberapa pembaharuan atau menciptakan produk baru yang sama sekali berbeda dengan perbankan konvensional atau secara real lebih baik dari produk perbankan konvensional.
Jika saja perbankan syariah tidak dapat melakukan hal tersebut maka bisa dilihat nanti ambruknya perbankan syariah sebelum berkembang dengan tidak mampunya memberikan yang dibutuhkan nasabah secara lebih baik dari perbankan konvensional.
Kalau hanya mengandalkan sistem yang sudah ada tentunya perbankan konvensional jauh lebih handal dari perbankan syariah karena mereka sudah terbukti bisa memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian dunia jauh sebelum bank syariah lahir. Kehadiran perbankan syariah akan lebih berarti atau eksistensinya akan semakin terlihat jika mampu memberikan sesuatu yang baru dalam sistem perbankan nasional.

C. Permasalahan kajian
Perbedaan mendasar antara perbankan syariah dengan konvensional adalah dari produknya yang mana perbankan syariah menggunakan konsep bagi hasil sementara konvesional menggunakan konsep bunga. Dengan menggunakan konsep bagi hasil perbankan syariah berpotensi untuk mendongkrak pertumbuhan sektor rill terutama lewat produk pembiayaan mudharabah. Perbankan syariah bukan perbankan konvensional yang hanya dengan menyimpan dananya di SBI dapat menjalankan kegiatannya dengan nyaman karena menerima bunga yang lebih tinggi dari bunga dibayarkan kepada nasabah. Bank syariah dituntut mampu memberikan kontribusi bagi sektor rill dengan memberikan pembiayaan yang menggunakan sistem bagi hasil.
Dengan begitu perbankan syariah seharusnyalah memiliki manajemen risiko yang berkompeten mengingat banyaknya risiko yang dihadapi pada sektor rill. Mendirikan bank syariah tidak cukup hanya dengan dana yang melimpah atau mampu menarik dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat tanpa kemampuan menyalurkannya ke sektor rill, bukan juga hanya dengan mengandalkan murabahah yang lebih mirip dengan konvensional dalam aplikasinya, dimana murabahah adalah akad jual beli secara kredit yang keuntungannya ditetapkan di awal. Risiko yang dihadapi pada produk tersebut tidak sekomplek pada pembiayaan mudharabah, yang mana bank syariah sebagai penyedia modal bagi dunia usaha dengan menerima bagi hasil.
Manajemen risiko menjadi suatu keharusan bagi perbankan syariah. Karena pada dasarnya risiko yang besar selalu memberikan keuntungan yang lebih besar, yang mana itu sangat dibutuhkan oleh perbankan syariah untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai lembaga keuangan yang memang berbeda dari perbankan konvensional.
Namun perbedaan tersebut hanya terlihat pada teori dan sangat sulit diaplikasikan dalam tataran praktek mengingat kurangnya kemampuan perbankan syariah dalam mengelola risiko dalam memasarkan produknya. Oleh kerana itulah banyaknya permasalah yang komplek dan rumitnya operasional yang ada di perbankan syari’ah dengan tuntunan mampu bersaing dengan bank-bank Konvensional yang telah lama berdiri, pada bahasan ini penulis bermaksud untuk mendedahkan sejauhmana prinsip-prinsip dasar perbankan syari’ah di berlakukan di Indonesia, melihat perlunya hal ini dibahas dan diketahui sebagai alat control perjalanan dunia perbankan.

D. Prinsip Ekonomi Islam
Ilmu ekonomi Islam ialah suatu kajian yang berkenaan dengan perilaku manuisadalam hubungan dengan pemanfaatan sumber-sumber prospektif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mengagihkanya untuk dikonsumsi. Pada dasarnya prinsip ekonomi Islam membentuk keseluruhan kerangkan yang jika diibaratkan sebagai sebuah bangunan maka ia akan membentuk semacam bangunan rumah dengan konstruksi nilai sebagai berikut;
a. Tauhid (keimanan)
Tauhid merupakan asas fondasi Islam. Dengan tauhid manusia akan merasakan makhluq yang lemah di depan tuhannya, dan dalam ajaran tauhid pun terdapat ajaran pengesaan atas rab yang maha segalanya sehingga apa-apa yang dimiliki sepenuhnya milikNya, atau hanya sebagai barang yang sementara dalam kepemilikanya bukan abadi.
b. ‘Adl (keadilan)
Sifat mulia berupa keadilan salah satu sifat milik Allah yang denganya tidak pernah membeza-bezakan antara satu ciptaan dengan lainya, implementasi dari pada ‘adil dalam perekonomian ialah tidak bersikap dzolim kepada orang lain atau lingkunganya, sehingga dalam pengambilan kebijakan yang melibatkan manusia am dia senantiasa berhati-hati kerana tidak diperbolehkan hanya mengejar keuntungan pribadi semata, dengan menafikan keperluan awam, atau terjadi eksploitasi manusia atas manusia.
c. Nubuwwah (kenabian)
Kerana Allah tidak mau membiarkan makhluqNya begitu sahaja setelah Ia ciptakan di muka bumi ini, maka Ia utus seorang manusia yang bias menjadikan sauri tauladan panutan dan model manusia yang ideal iaitu Nabi atau Rasul bertugas untuk menyampaikan risalah kenabianya kepada segenap manusia. Dan Nabi penyempurna dari selurh Nabi terdahulu ialah Muhammad yang memiliki sifat; Sidhiq, Tabligh, amanah, dan fhatonah. Wujudnya Muhammad agar manusia dapat meniru sifat-sifat yang ia bawa.
d. Khilafah (pemerintahan)
Setiap manusia diciptikan di muka bumi ini untuk menjadi khalifah (pemimipin) tidak terhadkan pada siapapun baik itu individu, kelompok, kumpulan, golongan, ras, suku, laki-laki, maupun perempuan bahkan hingga pada tahap negera. Prinsip ini mengandungi matlamat untuk menjaga keteraturan yang berhubung kait dengan sesame manusia, agar terhindarkan dari kegaduhan dan kecurangan dalam hal apapun termasuk perekonomian.
e. Ma’ad (kembali).
Arti daripada ma’ad banyak yang mengikhtilafkan, ada yang mengartikan sebagai kebangkitan dan ada yang mengatakan sebagai kembali pada suatu tempat. Pendapat yang terakhir inilah sepertinya lebih sesuai dengan maksud dan tujuannya. Iaitu setiap manusia ada tujuan akhir tempat kembali dan mempertanggungjawabkan amal perbuatanya. Dengan nilai ini kita akan dapati setiap manusia haruslah memiliki tujuan akhir yang lebih kekal dan abadi di bandingkan kehidupan yang sementara ini.

1. Sedangkan prinsip-prinsip system ekonomi Islam mencakupi;
a. Multitype ownership (kepemilikan multijenis)
Nilai tauhid dan nilai adil akan melahirkan konsep Multitype ownership. Sedangkan dalam kapitalis, prinsip umum yang berlaku ialah kepemilikan swasta, dan dalam system social, kempemilikan Negara, sedangkan dalam kepemilikan dalam Islam Multitype ownership yang mengakui berbagai macam kepemilikan manusia, baik swasta, Negara maupun campuran.
Sebenarnya prinsip ini adalah implementasi dari nilai tauhid bahawa manusia hanya pemegang amanah, pemilik mutlak hanyalah Allah semata.
b. Freedom to act (kebebasan untuk berbuat/berusaha)
Keyakinan tentang Nubuwah (kenabian) bilamana digabungkan dengan nilai tauhid dan keadilan akan melahirkan suatu prinsip kebebasan untuk berbuat/berusaha, khasnya pada pelaku bisnis dan ekonomi. Bebas dalam usaha akan menciptakan mekanisme pasar dalam perekonomian. Kerana itu mekanisme pasar merupakan keharusan dalam Islam dengan syarat tidak ada distorsi (kedzoliman).
c. Sosial justice (keadilan social)
Gabungan nilai khalifah dan nilai ma’ad akan melahirkan prinsip keadilan social. Dalam Islam, pemerintahan hendaklah melindungi setiap masyarakat yang tinggal di pemerintahan tersebut sehingga dapat terwujud keadilan social antara kaya dan miskin tanpa ada perbezaan kerana ianya suatu matlamat dasar manusia.
Sedangkan nilai akhlaq merupakan suatu asas setiap pelaku Islam dalam bisnis dan ekonomi. Kerana akhlaq menjadi indicator baik-buruknya manusia. Dan baik buruknya perilaku bisnis para pengusaha menentukan sukses-gagalnya bisnis yang dijalankan.

E. Landasan hokum ekonomi Islam
Hokum ekonomi ialah pernyataan mengenai kecenderungan suatu pernyatan hubungan sebab akibat antara dua kelompok fenomena . Semua hokum iliah adalah hokum dalam arta yang sama. Satu contoh dalam ilmu ekonomi, jika hal-hal lain sama keadaannya sedangkan harga suatu komoditi naik, maka, permintaan akan barang itu biasanya akan menurun.
Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan-kegunaan alternatif. Ilmu ekonomi adalah studi yang mempelajari cara-cara manusia mencapai kesejahteraan dan mendistribusikannya. Kesejahteraan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang memiliki nilai dan harga, mencakup barang-barang dan jasa yang diproduksi dan dijual oleh para pebisnis.
Meskipun ada kesamaan timbulnya kegiatan ekonomi, yakni disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Namun karena cara manusia dalam memenuhi alat pemuas keperluan dan cara mendistribusikan alat keperluan tersebut didasari filosofi yang berbeda, maka timbullah berbagai bentuk sistem dan praktik ekonomi dari banyak negara di dunia. Perbedaan ini tidak terlepas dari pengaruh filsafat, agama, ideologi, dan kepentingan politik yang mendasari suatu negara penganut sistem tersebut.
Keunikan hokum Islam ialah karena keluasan dan kedalam asas-asasnya mengenai seluruh masalah umat manusia yang berlaku sepanjang masa. Sebagaimana yang telah kita fahami bersama bahwa Hukum Islam, atau syari’at yang bersumber dari ajaran dan teladan Nabi Muhammad SAW, mengatur semua aspek kehidupan, etika, dan sosial, dan meliputi perkara-perkara pidana maupun perdata. Dengan demikian, sumber syariat Islam yang menjadi dasar hukum ekonomi adalah:
1. Al-Qur’an; kumpulan wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.
2. Hadist atau Sunnah; tradisi atau ucapan yang berhubungan dengan kehidupan Nabi Muhammad Saw atau jalan yang dirunut Nabi dan para sahabatnya.
3. Ijma’ (konsensus); konsensus kaum ulama ditetapkan untuk urusan-urusan duniawi saja, tidak termasuk pada permasalahan keimanan atau ibadah-ibadah pokok.
4. Qiyas (dedukasi Analogis); penalaran secara analogis, dengan mengunakan analogi-analogi masa lalu dan keputusan-keputusan yang dihasilakanya menjadi preseden dari setiap situasi baru.
5. Ijtihad; meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan seuatu persoalan syari’at.
6. dan prinsip-prinsip hukum lainya;
6.1 Istihsan; menyatakan bahwa pengabaian pendapat yang dihasilkan, melalui penalaran analogi (qiyas) dengan lebih menyukai seuatu pendapat berbeda yang didukung oelh pembuktian yang lebih kuat.
6.2 Istislah; melarang atau mengizinkan suatu hal semata-mata karena ia memenuhi suatu maksud yang baik (maslahah), walaupun tidak ada bukti jelas pada sumber yang diwahyukan untuk mendukung tindakan semacam itu.
6.3 Istishab; bila eksistensi sesuatu hal telah pernah ditetapkan dengan bukti, walaupun kemudian timbul keragu-raguan mengenai kelanjutan eksistensinya.

F. Nilai-nilai system perekonomian Islam
Meskipun ada kesamaan timbulnya kegiatan ekonomi, yakni disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Namun karena cara manusia dalam memenuhi alat pemuas kebutuhan dan cara mendistribusikan alat kebutuhan tersebut didasari oleh filosofi yang berbeda, maka timbullah berbagai bentuk sistem dan praktik ekonomi di banyak negara di dunia. Perbedaan ini tidak terlepas dari pengaruh filsafat, agama, ideologi, dan kepentingan politik yang mendasari suatu negara penganut sistem tersebut.
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

G. Sejarah Singkat Perbankan Syari’ah
Perkembangan dunia perbankan telah terlihat kompleks, dengan berbagai macam jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan kompetitif. Kekomplekan ini telah menciptakan suatu sistem dan pesaing baru dalam dunia perbankan, bukan hanya persaingan antar bank tetapi juga antara bank dengan lembaga keuangan. Sebuah fenomena nyata yang telah menuntut manajer keuangan bank untuk lebih antisipatif terhadap perubahan yang terjadi dalam dunia perbankan.
Beberapa tahun yang lalu, pertumbuhan lembaga keuangan dan bank muamalat dengan sistem syariah mulai bermunculan. Lembaga keuangan ini sudah sejak lama berkembang di negara Arab Saudi, Kuwait, Turki, Iran dan beberapa negara Timur Tengah lainnya. Perkembangan selanjutnya merebak ke wilayah negara Eropa, seperti Swiss dan London, serta wilayah Asia, seperti Malaysia dan Indonesia. Dunia perbankan ternyata bukan berasal hanya dari dunia Barat sebagaimana selama ini kita kenal dan pelajari, akan tetapi dunia perbankan juga berasal dari dunia Timur. Suatu perkembangan yang boleh dikatakan sangat mengembirakan, khususnya bagi umat Islam yang selama ini menginginkan investasi dan pendanaan tanpa unsur riba.

1. Praktik Perbankan di Zaman Rasulullah
Pada dasarnya bank adalah salah satu lembaga keungan yang melaksanakan tiga unsure dan fungsi utamanya iaitu menerima simpanan wang, meminjamkan wang dan memberikan jasa pengiriman wang. Walaupun pada zaman Nabi SAW belum ada institusi bank, tetapi ajaran Islam sudah memberikan prinsip-prinsip dan filosofi dasar yang harus dijadikan pedoman dalam aktifitas perdagangan dan perekonomian. Karena itu, dalam menghadapi masalah muamalah kontemporer yang harus dilakukan hanyalah mengidentifikasi prinsip-prinsip dan filosofi dasar ajaran Islam dalam bidang ekonomi, dan kemudian mengidentifkasi semua hal yang dilarang.
Setelah kedua hal ini dilakukan, maka kita dapat melakukan inovasi dan kreativitas (ijtihad) seluas-luasnya untuk memecahkan segala persoalan muamalah kontemporer, termasuk persoalan perbankan. Namun, sebelum “proses ijtihad” dalam persoalan perbankan ini kita lakukan, kita sebaiknya meneliti terlebih dahulu apakah persoalan perbankan ini benar-benar merupakan suatu persoalan yang baru bagi umat Islam atau bukan.
Pada zaman rasulullah praktik-praktik seperti penerimaan titipan harta, meminjamkan wang serta melakukan pengirimannya telah kerap sekali beliau lakukan, artinya fungsi utama perbankan modern telah berlaku sejak zaman Rasulullah. Didalam operasionalnya Bank Syariah (Islamic Bank), mengadopsi prinsip-prinsip syariah yang pernah dilakukan pada zaman Rasullulah, sebenarnya pada zaman Rasullulah prinsip perbankan itu sudah dilakukan, namun masih bersifat individu (perorangan melakukan satu fungsi) belum dilakukan secara institusi. Praktek menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi, meminjamkan uang untuk keperluan bisnis dan pengiriman uang sudah lazim dilaksanakan pada zaman Rasulullah Saw. Adapun praktek-praktek perbankan di zaman Rasulullah Saw seperti :
 Rasullulah Saw adalah orang yang dipercaya oleh penduduk Mekkah untuk menerima titipan harta, Titipan tersebut beliau kembalikan melalui Syaidina Ali r.a pada saat beliau hijrah ke kota Madinah Sahabat Zubair bin Awwam lebih suka menerima titipan dalam bentuk pinjaman agar beliau dapat memanfaatkannya dan beliau wajib mengembalikannya utuh kepada penitip harta.
 Sahabat Ibnu Abbas kirim uang ke Kuffah, Abdullah bin Zubair kirim uang dari Mekkah ke adiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak.
 Khalifah Umar bin Khatab telah menggunakan Cek untuk membayar tunjangan kepada yang berhak dan Cek tersebut digunakan untuk mengambil gandum yang diimpor dari Mesir di Baitul Maal.
 Diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar dikenal pemberian modal berbasis modal kerja dengan akad Mudharabah, Musyarakah, Muzara’ah dan Musaqah.
 Beberapa istilah perbankan seperti Cek dan Kredit berasal dari bahasa Arab, yaitu Saq dan Qardh.
Praktek perbankan syariah di zaman Rasulullah tersebut semakin berkembang pada zaman Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Di zaman Rasulullah Saw, dimana fungsi perbankan dilakukan oleh perorangan dan satu individu melaksanakan satu fungsi, akan tetapi pada zaman Bani Umayah fungsi-fungsi perbankan sudah dilakukan oleh satu individu, seiring dengan banyaknya beredar jenis mata uang yang memerlukan keahlian khusus membedakan kandungan logam mulia didalamnya untuk menentukan nilainya. Orang yang memiliki keahlian khusus disebut dengan Jihbiz, hal ini merupakan cikal bakal money changer.

2. Praktik Perbankan Syari’ah di Zaman Modern
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.
Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.
Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.
3. Praktek Perbankan Syari’ah di Indonesia
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. .Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero).

H. Perbezaan dan Persamaan Transaksi di Bank Syari’ah dan Konvensional
Transaksi dalam ekonomi konvensonal berbeda dengan transaksi yang dilakukan dalam Islam. Tetapi perbedaan itu tidak boleh kita lihat sepintas sedang melakukan transaksi, karena asas transaksi adalah rela-sama rela. Dalam praktek jual beli dalam konteks ekonomi konvensional hanyalah sebatas pada kesepakatan. Kesepakatan tidak berasas pada halal-haram, saling menzalimi, dan prinsip mencari keuntungan dengan modal sekecil-kecilnya boleh mendapat untuk sebesar-besarnya.
Keuntungan itu adalah keuntungan hanya sebatas dunia. Teori ekonomi konvensional dalam mencari kekayaan adalah dengan prinsip teme velue of mony. Dalam Islam memandang waktu sebagai sesuatu yang harus dipergunakan untuk dunia dan akhirat ertinya didunia inilah kita mencari kebahagiaan dunia yang diridhai oleh Allah swt untuk menuju akhirat.
Transaksi ekonomi adalah sesuatu ikatan persetujuan antar dua belah pihak atau lebih, pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyertakan barang milikny dan pihak lain membayar harga barang tersebut sesuai dengan yang telah dijanjukan. Apabila kedua belah pihak telah setuju terhadap janji yang mereka buat bersama, maka mereka telah sepakat dan bersedia untuk menyerahkan hak miliknya kepada pihak lain yang berupa suatu barang atau benda yang berada di dalam kekuasaannya.
Maka secara jelas dapatlah kita ketahui perbezaan bank syariah dan bank Konvensional, (lihat Tabel 1) .

Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
No Perbedaan Bank Syariah Bank Konvensional
1 Falsafah Tidak berdasarkan bunga, spekulasi, dan ketidakjelasan Berdasarkan bunga
2 Operasional • Dana masyarakat berupa titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil jika ’diusahakan’ terlebih dahulu.

• Penyaluran pada usaha yang halal dan menguntungkan. • Dana masyarakat berupa simpanan yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo.

• Penyaluran pada sektor yang menguntungkan, aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama.
3 Aspek Sosial Dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam misi dan visi organisasi Tidak diketahui secara tegas
4 Organisasi Harus memiliki Dewan Pengawas Syariah Tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah


I. Keistimewaan Bank Syari’ah dari Lembaga Keuangan lainya
Bank muamalat atau bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Kenyataan di masyarakat, mungkin terdapat kesimpangsiuran mengenai pemahaman tentang pengertian lembaga keuangan dengan bank muamalat. Lembaga keuangan dapat dikatakan sebagai badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk asset keuangan atau tagihan (claim) serta asset non finansial atau asset riil dan memberikan pelayanan jasa dalam bentuk skim tabungan (depositori), proteksi asuransi, program pensiun, dan penyediaan sistem pembayaran melalui mekanisme transfer dana.
Jika dilihat dari dua pengertian diatas, antara lembaga keuangan dengan bank muamalat memiliki persamaan yaitu sebagai badan usaha yang bergerak dalam bidang pengelolaan keuangan dan pendanaan maupun investasi. Pernyataan ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 1992, tentang perubahan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) menjadi bank umum. Bank umum menurut UU No. 7 Tahun 1992, disamping melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pendiri lebih menyukai bentuk lembaga keuangan, mungkin karena lapangan maupun orientasi usahanya masih dalam lingkup yang kecil. Sedangkan pendirian sebuah bank, memerlukan capital adequacy ratio (CAR) 8% berdasarkan rasio kecukupan modal perbankan. Pada dasarnya lembaga keuangan, bank konvensional, maupun bank Islam (bank Muamalat) merupakan bagian dari manajemen keuangan modern.
Lembaga keuangan syariah maupun bank Muamalat, sebagai lembaga keuangan Islam dan alternatif pengganti bank-bank konvensional memiliki ciri-ciri keistimewaan sebagai berikut :
1. Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat antara pemegang saham, pengelola bank dan nasabahnya.
2. Diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga, sehingga akan berdampak positif dalam menekan cost push inflation dan persaingan antar bank.
3. Tersedianya fasilitas kredit kebaikan (Al-Qardhul Hasan) yang diberikan secara Cuma-Cuma
4. Konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan:
a. Mendorong kegiatan investasi dan menghambat simpanan yang tidak produktif melalui sistem operasi profit and loss sharing.
b. Memerangi kemiskinan dengan membina golongan ekonomi lemah dan tertindas, melalui bantuan hibah yang dilakukan bank secara produktif.
c. Mengembangkan produksi, menggalakkan perdagangan dan memperluas kesempatan kerja melalui kredit pemilikan barang atau peralatan modal dengan pembayaran tangguh dan pembayaran cicilan.
d. Meratakan pendapatan melalui sistem bagi hasil dan kerugian, baik yang diberikan kepada bank itu sendiri maupun kepada peminjam.
5. Penerapan sistem bagi hasil yang tidak membebani biaya diluar kemampuan nasabah dan akan terjamin adanya “keterbukaan”.
6. Menciptakan alternatif kehidupan ekonomi yang berkeadilan dalam kehidupan modern.

J. Fungsi dan Usaha Bank Syari’ah
Di Indonesia, keberadaan bank muamalat sudah ada sejak pertengahan tahun 1992, tepatnya setelah disahkannya UU No. 7 Tahun 1992 sebagai dasar hukum, yang kemudian dirubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998. kebijakan perundangan ini diperkuat oleh Keputusan Menteri Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia No. 53/BH/KDK 13.32/1.2/XII/1998, pengesahan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi No. 165/PAD/KDK 13.32/1.2/V/1999,serta izin usaha dari Menteri Keuangan untuk beroperasi dengan prinsip bagi hasil seperti bank perkreditan rakyat (BPR) Syariah. Berdasarkan beberapa dasar hukum ini, bank muamalat memiliki kesamaan fungsi demngan bank umum. Fungsi-fungsi bank umum sebagaimana yang dimaksud antara lain.
1. Menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang lebih efisien dalam kegiatan ekonomi. Bank wajib menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang lebih efisien kepada nasabahnya, seperti penyediaan fasilitas kartu kredit, ATM, serta mekanisme jasa kliring dan inkaso.
2. Menciptakan uang. Menciptakan uang yang dimaksud bukanlah seperti fungsi pada bank Indonesia. Menciptakan uang dalam hal ini adalah bagaimana bank muamalat dalam kegiatan operasionalnya seperti bank konvensional, dapat memberikan perolehan hasil secara maksimal. Perolehan hasil ini merupakan balas jasa (keuntungan) yang diterima dalam bentuk uang, yang dapat digunakan kembali untuk memperlancar kegiatan operasional bank atau disimpan sebagai cadangan modal.
3. Menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat. Kegiatan menghimpun dana dapat dilakukan dengan cara menawarkan jasa dalam bentuk tabungan, deposito berjangka, giro maupun penerimaan dana sesuai dengan syariah Islam. Penyaluran kembali dana ke masyarakat dapat dalam bentuk pemberian kredit dan bentuk-bentuk pendanaan lainnya. Dalam penyaluran kembali dana masyarakat, bank memperoleh balas jasa dalam bentuk bagi hasil berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Tujuan dari perputaran dana ini adalah sebagai perolehan hasil (profit) dan mobilisasi dana dapat terus berjalan.
4. Menawarkan jasa-jasa keuangan lainnya. Jasa-jasa keuangan lainnya yang dapat ditawarkan oleh bank muamalat, antara lain :
a. Transfer antar bank dalam kota atau luar negeri.
b. Kliring (clearing)
c. Inkaso
d. Safe deposit box
e. Bank card
f. Bank notes
g. Travelers cheque
h. Letter of credit (L/C)
i. Bank garansi
j. Jasa-jasa dipasar modal
k. Menerima setoran-setoran lain
Menurut Siamat (1999), kegiatan usaha bank yang dapat dilakukan berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, antara lain :
1. Menghimpun dana dari masyarakat. Penghimpunan atau mobilisasi dana dapat melalui sarana tabungan, deposito berjangka dan giro.
2. Memberikan kredit. Kredit yang diberikan dapat dalam bentuk pendanaan kegiatan ekonomi masyarakat mapun barang kebutuhan konsumen.
3. Menerbitkan surat pengakuan utang.
4. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
a. Surat-surat wesel termasuk wesel yang disekap oleh bank.
b. Surat pengakuan utang.
c. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah.
d. Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
e. Obligasi.
f. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
g. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
6. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana komunikasi mapun dengan wesel.
7. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antara pihak ketiga.
8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (custodian).
10. Melakukan penempatan dana dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
11. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
12. Melakukan kegiatan anjak piutang (factoring) kartu kredit dan kegiatan wali amanat (trustee).
13. menyediakan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.
14. Melakukan kegiatan lain, misalnya kegiatan transaksi dalam valuta asing, melakukan penyertaan modal atau usaha lain di bidang keuangan seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, dan asuransi, serta melakukan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit.
15. Kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.

K. Perinsip Dasar Perbankan Syari’ah
Berdasarkan Al-Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ para ulama, serta transaksi-transaki perbankan yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw sampai dengan zaman Bani Abassiyah tersebut diatas, oleh para ahli ekonomi Islam diadopsi dan menjadikannya hujjah/sandaran fiqih sebagai pedoman operasional perbankan syariah masa kini, yang diformulasikan kedalam enam prinsip dasar yaitu Al-Wadiah, Syirkah, Al-Bai’, Al-Ijarah, Al-Qard dan Al-Ujroh, berikut penjelasannya :

1. Prinsip al-wadi’ah
Dalam tradisi fiqih Islam, prinsip al-wadiah dikenal dengan sebutan titipan. Al-wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Dalam aplikasi perbankan syariah, prinsip al-wadiah ini dibagi menjadi dua;
Pertama, al-wadiah yad al-amanah, dimana pihak menerima titipan (bank) tidak boleh menggunakan barang yang dititipkan tersebut, namun dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penititipan. Produk perbankan yang berdasarkan prinsip ini adalah produk afe Deposit Box (SDB).
Kedua, al-wadiah yad adh-dhamanah, dimana pihak penerima titipan (bank) dapat memanfaatkan harta (uang) yang dititipkan tersebut, sebagai konsekuensi semua keuntungan yang dihasilkan dari uang (dana).
Contoh konkrit pada perbankan adalah pada aplikasi giro (current account) dan deposito berjangka (saving account). Sebagai konsekuensi dari Sebagai konsekuensi dari yadh adh dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank, demikian juga bank sebagai penanggung seluruh kemungkinan kerugian.

2. Prinsip bagi hasil (profit-sharing)
Pada profit sharing ini dalam pelaksanaan di Pebankan Syari’ah di bagi menjadi empat produk iaitu:
Pertama, Al-Shirkah atau biasa disebut dalam istilah Islam Al-Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Landasan syari’ahnya berdasarkan Firman Allah yang Artinya”maka mereka berserikat pada sepertiga”
Kedua, al-Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dengan kontrak mudharabah apabila mudharib melakukan penyimpangan-penyimpangan untuk kepentingan dirinya maka mudharib akan menanggung seluruh kerugian yang di akibatkan penyimpangan yang dilakukannya. oleh karena itu shahibul mal harus dapat membuat aturan atau peringatan yang dapat mengurangi kesempatan mudharib untuk melakukan tindakan yang merugikan.
Ketiga, Al-Muzara’ah adalah kerja sama pengelolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada sipenggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Landasan Syari’ahnya adalah Hadits “Diriwayatkan oleh Bukhari,’maka Rasulullah pun bersabda “hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap, Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya tahanlah tanahnya.”
Keempat, Al-Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari Muzara’ah dimana sipenggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. sebagai imbalan sipenggarap berhak atas Nisbah tertentu dari hasil panen. Landasan syari’ahnya adalah Hadits “Ibnu umar berkata Bahwa Rasululla SAW pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di khaibar kepada yahudi khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan peralatan dan dana mereka. sebagai imbalan mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.
3. Prinsip al-Bai’ (jual-beli)
Pada prinsip jual beli pun yang berlaku di Perbakan Syari’ah terbahagai menjadi empat macam iaitu:
Pertama, Ba’i Al-Murabahah Adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan menetukan suatu tingkat keuntutngan sebagai tambahannya.Landasan Syari’ahnya adalah Al-Qur’an yang Artinya”…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba…”
Kedua, Ba’I As-Salam berarti pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan dimuka. Landasan Syari’ahnya adalah Al-Qur’an yang Artinya”…Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya…”
Ketiga, Ba’i Al-Istishna Merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam hal ini pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir.

4. Prinsip al-Ijarah (Sewa)
Pertama, Al-Ijarah Adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.Landasan Syari’ahnya adalah Al-Qur’an yang Artinya” Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak Dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” Dari ayat diatas telah melukiskan konteks dimana si majikan telah menyewa tenaga pekerjaaannya dengan bayaran berupa upah tertentu.
Kedua, Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik. Sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan Sipenyewa.

5. Prinsip al-Qard ( Pinjaman)
Al-Qard Adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. hal ini dikategorikan dalam Aqd tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.Landasan syariahnya adalah Al-Qur’anYang Artinya: ”siapakah yang mau meminjamkan kepada Alllah pinjaman yang baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak”.
Termasuk di dalamnya adalah Ar-Rahn Adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas barang yang diterimnya. Landasannya adalah Al-Qur’an yang Artinya: ”Jika kamu dalam perjalalnan (dan bermuamalahlah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)…”

6. Prinsip al-Ujrah (jasa)
Pertama, Al-Wakalah Berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Landasan Syari’ahya adalah Al-Qur’an yang Artinya: ”Jadikanlah aku bendaharawan negara (mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman”
Kedua, Al-Kafalah Merupakan jaminan yang diterima oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.Landasanya adalah Al-Qur’an yang Artinya: ” Penyeru-penyeru itu berseru,’kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan(seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya”
Ketiga, Al-Hawalah Adalah pengendalian hutang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Hal ini merupakan pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal’alai atau orang yang berkewajiban membayar hutang.

L. Struktur Organisasi Bank Syari’ah
Bank syari’ah dapat memiliki sturktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsure yang amat membedakan antar bank syari;ah dan bank koncensional adalah keharusan adanya DPS (Dewan Pengawas Syari’ah) yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syari’ah.
DPS biasanya diletakan pada setingkat posisi Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini utuk menjamin efektifitas dari setiap opini yang diberikan oleh DPS. Kerananya biasanya penetapan anggota DPS dilakukan oleh Rapat Umum pemegang saham, setelah anggota DPS itu mendapatkan rekomendasi dari Dewan Syari’ah Nasional (DSN).

1. DPS (Dewan Pengawas Syari’ah)
Dewan Pengawas Syari'ah (DPS) adalah bagian dari lembaga keuangan syari’ah yang bersangkutan, yang penempatannya atas persetujuan Dewan Syari'ah Nasional (DSN). Dan Lembaga keuangan syari'ah adalah setiap lembaga yang kegiatan usahanya di bidang keuangan yang didasarkan pada syari’ah atau hukum Islam, seperti perbankan, reksadana, takaful, dan sebagainya.
Maka dalam Bank Syari’ah mana pun setidaknya ia memiliki tiga orang anggota DPS. Salah satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua. Masa tugas anggota DPS adalah 4 (empat) tahun dan akan mengalami pergantian antar waktu apabila meninggal dunia, minta berhenti, diusulkan oleh lembaga keuangan syari’ah yang bersangkutan, atau telah merusak citra DSN (Dewan Syari’ah Nasional).
Adapun tugas Utama daripada DPS adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syari'ah agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syari'ah yang telah difatwakan oleh DSN.
Sedangkan Fungsinya DPS adalah:
a. sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syari'ah dan pimpinan kantor cabang syari'ah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syari'ah.
b. sebagai mediator antara lembaga keuangan syari'ah dengan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syari'ah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN.
Maka Dewan Pengawas Syari’ah harus membuat pernyataan secara berkala bahawa bank syari’ah yang diawasi telah berjalan sesuai dengan ketentuan syari’ah. Pernyataan ini dimuat dalam laporan dalam laporan tahunan bank yang bersangkutan.








2. DSN (Dewan Syari’ah Nasional)
Menurut Surat Keputusan DSN MUI No.Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI Masa Bhakti Th. 2000-2005 bahwa DSN memberikan tugas kepada DPS untuk:
a. melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah,
b. mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN;
c. melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran;
d. merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan DSN. Untuk melakukan pengawasan tersebut, anggota DPS harus memiliki kualifikasi keilmuan yang integral, yaitu ilmu fiqh muamalah dan ilmu ekonomi keuangan Islam modern.
Kesalahan besar perbankan syari'ah saat ini adalah mengangkat DPS karena kharisma dan kepopulerannya di tengah masyarakat, bukan karena keilmuannya di bidang ekonomi dan perbankan syari'ah. Masih banyak anggota DPS yang belum mengerti tentang teknis perbankan dan LKS, apalagi ilmu ekonomi keuangan Islam, seperti akuntansi, akibatnya pengawasan dan peran-peran strategis lainnya sangat tidak optimal. DPS juga harus memahami ilmu yang terkait dengan perbankan syariah seperti ilmu ekonomi moneter, misalnya dampak bunga terhadap investasi, produksi, unemployment.

M. Jenis-jenis Pembiayaan Bank Syari’ah
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi keperluan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat pengguna-annya, pembiayaan dapat dibagai menjadi:
1. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi
2. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis diguna-kan untuk dipakai memenuhi kebutuhan.
Sedangkan Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi:
1. Pembiayaan Modal Kerja iaitu pembiayaan untuk memenuhi keperluan. Ianya mencakupi beberapa hal (1) peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; dan (2) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
2. Pembiayaan Investasi iaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.

1. Pembiayaan Modal Kerja
Unsur-unsur modal kerja terdiri dari komponen-komponen alat likuid (cash), piutang dagang (receivable), dan persediaan (inventory) yang umumnya terdiri dari persediaan bahan baku (raw material), persediaan barang dalam proses (work in process), dan persediaan barang jadi (finished goods). Oleh karena itu, pem-biayaan modal kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash financing), pembiayaan piutang (receivable financing), dan pembiayaan persediaan (inventory financing).
Bank konvensional memberikan kredit modal kerja tersebut, dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi maupun perdagangan untuk jangka waktu tertentu, dengan imbalan berupa bunga. Bank syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja tersebut, bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, di mana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), sedang-kan nasabah sebagai pengusaha (mudharib). Skema pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharanah (trust financing). Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil (yang belum dibagikan) yang menjadi bagian bank.

a. Pembiayaan Likuiditas (Cash Financing)
Pembiayaan ini pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash outflow pada per-usahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvensional adalah fasilitas cerukan (overdraft facilities) atau yang biasa disebut kredit rekening koran. Atas pemberian fasilitas ini bank memperoleh imbalan manfaat berupa bunga atas jumlah rata-rata pemakaian dana yang disediakan dalam fasilitas tersebut.
Bank syariah dapat menyediakan fasilitas semacam itu dalam bentuk qardh timbal balik atau yang disebut compensating balance. Melalui fasilitas ini nasabah harus membuka rekening giro, dan bank tidak memberikan bonus atas giro tersebut. Bila nasabah mangalami situasi mismatched, nasabah dapat menarik dana melebihi saldo yang tersedia sehingga menjadi negatif sampai maksimum jumlah yang disepakati dalam akad. Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta imbalan apa pun, kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.

b. Pembiayaan Piutang (Receivable Financing)
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang men-jual barangnya dengan kredit, tetapi baik jumlah maupun jangka waktunya melebihi kapasitas modal kerja yang dimilikinya. Bank konvensional biasanya memberikan fasilitas berupa:
1). Pembiayaan Piutang (Receivable Financing)
Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih tertanam dalam piutang. Atas pinjaman itu bank meminta cessie atas tagihan nasabah tersebut. Pada dasarnya nasabah ber-kewajiban untuk menagih sendiri piutangnya. Tetapi, bila bank merasa perlu, dengan menggunakan cessie tersebut bank berhak untuk menagih langsung kepada pihak yang berhutang. Hasil penagihan tersebut pertama-tama diguna-kan untuk membayar kembali pinjaman nasabah berikut bunganya, dan selebihnya dikreditkan ke rekening nasabah. Bila ternyata piutang tersebut tidak tertagih, maka nasabah wajib membayar kembali pinjaman tersebut berikut bunganya kepada bank.
2). Anjak Piutang (Factoring)
Fasilitas ini diberikan oleh bank dalam bentuk peng-ambilalihan piutang nasabah. Untuk keperluan tersebut nasabah mengeluarkan draf (wesel tagih) yang diaksep oleh pihak yang berhutang, atau promissory notes (promes) yang diterbitkan oleh pihak yang berhutang, kemudian di-endors oleh nasabah. Draf atau promes tersebut lalu dibeli oleh bank dengan diskon sebesar tingkat bunga yang berlaku atau disepakati untuk jangka waktu yang tertera pada draf atau promes tersebut. Bila pada saat jatuh tempo draf atau promes tersebut ternyata tidak tertagih, maka nasabah wajib membayar kepada bank sebesar nilai nominal draf tersebut.

c. Pembiayaan Persediaan (Inventory Financing)
Pada bank konvensional dapat kita jumpai adanya kredit modal kerja yang dipergunakan untuk mendanai pengadaan persediaan (inventory financing). Pola pembiayaan ini pada prinsipnya sama dengan kredit untuk mendanai komponen modal kerja lainnya, yaitu memberikan pinjaman dengan bunga.
Bank syariah mempunyai mekanisme tersendiri untuk me-menuhi kebutuhan pendanaan persediaan tersebut, yaitu antara lain dengan menggunakan prinsip jual-beli (al bai’) dalam dua tahap. Tahap pertama, bank mengadakan (membeli dari suplier secara tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua, bank menjual kepada nasabah pembeli dengan pembayaran tangguh dan dengan mengambil keun-tungan yang disepakati bersama, antara bank dengan nasabah
d. Pembiayaan Modal Kerja untuk Perdagangan
1). Perdagangan Umum
Perdagangan umum adalah perdagangan yang dilaku-kan dengan target pembeli siapa saja yang datang membeli barang-barang yang telah disediakan di tempat penjual, baik pedagang eceran (retailer) maupun pedagang besar (whole seller). Pada umumnya perputaran modal kerja (working capital turnover) perdagangan semacam ini sangat tinggi, tetapi pedagang harus mempertahankan sejumlah persediaan yang cukup, karena barang-barang yang dijual itu sebatas jumlah persediaan yang ada atau telah dikuasai penjual. Untuk pembiayaan modal kerja perdagangan jenis ini skema yang paling tepat adalah skema mudharabah.
2). Perdagangan Berdasarkan Pesanan
Perdagangan ini biasanya tidak dilakukan atau diselesai-kan di tempat penjual, yaitu seperti perdagangan antarkota, perdagangan antarpulau, atau perdagangan antarnegara. Pembeli terlebih dulu memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual berdasarkan contoh barang atau daftar barang serta harga yang ditawarkan. Biasanya pembeli hanya akan membayar apabila barang-barang yang dipesan telah diterimanya. Hal ini untuk menghindari kemungkinan risiko akibat ketidakmampuan penjual memenuhi pesanan, atau ketidaksesuaian jumlah dan kualitas barang yang dikirimkan dengan spesifikasi yang dimaksud dalam surat penawaran atau pemesanan

2. Pembiayaan Investasi
Pembiayaan investasi diberikan kepada para nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru. Ciri-ciri pembiayaan investasi adalah:
a. Untuk Pengadaan Barang-barang modal
b. Mempunyai perencanaan Alokasi dana yang matang dan terarah
c. Berjangka waktu menengah dan panjang.
Pada umumnya, pembiayaan investasi diberikan dalam jumlah besar dan pengendapannya cukup lama. Oleh karena itu, perlu disusun proyeksi arus kas (projected cash flow) yang mencakup semua komponen biaya dan pendapatan sehinga akan dapat diketahui berapa dana yang tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi. Kemudian, barulah disusun jadwal amortisasi yang merupakan angsuran (pembayaran kembali) pembiayaan.

3. Pembiayaan Komsumtif
Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk me-menuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok, baik berupa barang, seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal, maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan pengobatan. Sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuan-titatif maupun kualitatif lebih tingi atau lebih mewah dari kebutuhan primer, baik berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian/ perhiasan, bangunan rumah, kendaraan, dan sebagainya, maupun berupa jasa seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan, dan sebagainya.
Pada umumnya, bank konvensional membatasi pemberian kredit untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah, seperti rumah dan kendaraan bermotor, yang kemudian menjadi barang jaminan utama (main collateral). Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan berupa barang lain yang dapat diikat sebagai collateral. Sumber pembayaran kembali atas pembiayaan tersebut berasal dari sumber pendapatan lain, dan bukan dari eksploitasi barang yang dibiayai dari fasilitas ini.

N. Akad-akad dalam perbankan Syari’ah
1. Akad Tabaru’
Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakekatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan).
Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Tapi ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah,waqf, shadaqah,hadiah, dan lain-lain.

Ada tiga bentuk akad tabaru’ iaitu:
1). Meminjamkan uang (lending $)
Akad meminjamkan uang ini ada beberapa macam lagi jenisnya, setidaknya ada 3 jenis, yakni sebagai berikut. Bila pinjaman ini diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu maka bentuk meminjamkan uang seperti ini disebut dengan qard.
Selanjutnya, jika dalam meminjamkan uang ini si pemberi pinjaman mensyaratkan suatu jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu, maka bentuk pemberian pinjaman seperti ini disebut dengan rahn.
Ada lagi suatu bentuk pemberian pinjaman uang, di mana tujuannya adalah untuk mengambil alih piutang dari pihak lain. Bentuk pemberian pinjaman uang dengan maksud seperti ini disebut hiwalah.

2). Meminjamkan Jasa (lending your self)
Seperti akad meminjamkan uang, akad meminjamkan jasa juga terbagi menjadi 3 jenis. Bila kita meminjamkan “diri kita” (yakni jasa keahlian/keterampilan, dsb) saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain, maka hal ini disebut wakalah. Karena kita melakukan sesuatu atas nama orang yang kita bantu tersebut, maka sebenarnya kita menjadi wakil orang itu. Itu sebabnya akad ini diberi nama wakalah.
Selanjutnya, bila akad wakalah ini kita rinci tugasnya, yakni bila kita menawarkan jasa kita untuk menjadi wakil seseorang, dengan tugas menyediakan jasa custody (penitipan, pemeliharaan), maka bentuk peminjaman jasa seperti ini disebut akad wadi’ah.
Ada variasi lain dari akad wakalah, yakni contingent wakalah (wakalah bersyarat). Dalam hal ini, maka kita bersedia memberikan jasa kita untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain, jika terpenuhi kondisinya, atau jika sesuatu terjadi.
Misalkan, seorang dosen menyatakan kepada asistennya demikian: “Anda adalah asisten saya. Tugas Anda adalah menggantikan saya mengajar bila saya berhalangan.”. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah wakalah bersyarat. Asisten hanya bertugas mengajar (yakni melakukan sesuatu atas nama dosen) bila dosen berhalangan (yakni bila terpenuhi kondisinya, jika sesuatu terjadi). Jadi asisten ini tidak otomatis menjadi wakil dosen. Wakalah bersyarat ini dalam terminologi fikih disebut sebagai akad kafalah.
Dengan demikian, ada 3 (tiga) akad meminjamkan jasa, yakni:wakalah, wadi’ah, dan kafalah.


3). Memberikan sesuatu (giving something)
Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah akad-akad sebagai berikut: hibah,waqf, shadaqah,hadiah, dll. Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain. Bila penggunaannya untuk kepentingan umum dan agama, maka akadnya dinamakan waqf. Objek waqf ini tidak boleh diperjualbelikan begitu dinyatakan sebagai aset waqf. Sedangkan hibah dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.

2. Akad Tijarah
Sedangkan Akad berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah pun dapat kita bagi menjadi dua kelompok besar, yakni:
1). Natural Certainty Contracts (NCC)
Dalam NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara “sunnatullah” (by their nature) menawarkan return yang tetap dan pasti.
Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jualbeli, upah-mengupah, sewa-menyewa, dll, yakni sebagai berikut:
a. Akad Jual-Beli (Al-Bai’. Salam, dan Istishna’)
b. Akad Sewa-Menyewa (Ijarah dan IMBT)
Dalam akad-akad di atas, pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya (baik real assets maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak tetap berdiri-sendiri (tidak saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan resiko bersama. Juga tidak ada percampuran aset si A dengan aset si B. Yang ada misalnya adalah si A memberikan barang ke B, kemudian sebagai gantinya B menyerahkan uang kepada A. Di sini barang ditukarkan dengan uang, sehingga terjadilah kontrak jual-beli (al-bai’).

2). Natural Uncertainty Contracts (NUC)
Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Di sini, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Karena itu, kontrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini secara “sunnatullah” (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi sifatnya tidak “fixed and predetermined”. Contoh-contoh NUC adalah sebagai berikut:
a. Musyarakah (wujuh, ‘inan, abdan, muwafadhah, mudharabah)
b. Muzara’ah
c. Musaqah
d. Mukhabarah

O. Penutup
Pada bahasan penutup ini dapatlah kita simpulkan dari konsep dan prinsip Bank syari’ah ialah Bank syari’ah dalam operasionalnya tidak berdasar pada pengambilan bunga, spekulasi dan ketidak jelasakan, dan sikap Bank Syari’ah terhadap dana masyarakat merupakan titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil jika diusahakan terlebih dahulu, dan penyaluran dananya semua dalam bentuk aktiviti yang halal dan sesuai dengan ajaran syari’at Islam. Dan untuk menjaga laju dan perkembangan serta aktiviti dalam perputaran transaksi di Bank Syari’ah maka di bank syari’ah diberlakukan Dewan Pengawas Syari’ah dan Dewan Nasional Syari’ah yang berfungsi dalam meninjau dan menghakimi apa-apa yang dijalankan pada perbankan syari’ah.
Serta keistimewaan daripada Bank Syari’ah iaitu Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat antara pemegang saham, pengelola bank dan nasabahnya. Diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga, sehingga akan berdampak positif dalam menekan cost push inflation dan persaingan antar bank. Serta Tersedianya fasilitas kredit kebaikan (Al-Qardhul Hasan) yang diberikan secara Cuma-Cuma dan Konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan.

P. Referensi

Adiwarman .A. Karim (2007) Bank Islam, Edisi ke-3. Jakarta: Raja Grafindo.
Akhmad Mujahiddin (2007) Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali press.
Chairuddin Syah Nasution (2003) Manajemen Kredit Syari’ah Bank Muamalat, Jakarta: Kajian Ekonomi dan Keuangan. Vol:7 No.3
Dahlan Siamat. (1999). Manajemen Lembaga keuangan. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/ekonomi-syariah/1163- optimalisasi-dewan-pengawas-syariah-perbankan-syariah. di nukil: tarikh 11/4/ 2009.
Kepututsan Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama’ Indonesia No: 03 Tahun 2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah Pada Lembagaa Keuangan Syari'ah
M.Algaoud Latifa dan K.Lewis Mervyn, Islamic Banking,alih bahasa ke Perbankan Syari’ah,prinsip, praktik dan prospek, Burhan Wirasubrata, Serambi. Jakarta :2003,
Muh. Abdul Manan (1997) teori dan praktek ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
Muhammad (2006) Konstruk Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. IJTIHAD. Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam. Ponorogo: Fakultas Syari’ah Institut Studi Islam Darussalam Gontor.
Muhammad Syafi’I Antonio (2001) Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Sudarsono, (2004) Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia.
www.halalguide.info/content/view/685/46/ - 22k. Dinukil 24/07/2008



0 komentar:

Posting Komentar