Al-Qur’an ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datang dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan dalam bentuk pasif: “Diwajibkan atas kamu bepuasa....(QS 2:183). Agaknya redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa puasa tidak harus merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkannya atas dirinya sendiri pada saat ia menyadari betapa banyak manfaat di balik puasa itu.
Manusia diciptkan oleh Tuhan dari tanah dan dari Ruh Ilahi. Tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani, sedangkan Ruh Ilahi mengantarkannya kepada hal-hal yang bersifat ruhaniah. Tidak dapat diingkari bahwa kebutuhan jasmani, khususnya fa’ali (makan dan minum), menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia sehari-hari. Daya tariknya demikian kuat sehingga tidak jarang orang terjerumus karenanya. Seseorang yang mampu mengendalikan diri dalam kebutuhan yang mendasar itu, diharapkan dapat mengontrol diri pada dorongan naluriah atau nafsu lain yang justru berada di peringkat bawah diabandingkan dengan kebutuhan fa’ali tersebut. Dari sini dapat dipahami mengapa syarat syahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan minum hawa nafsu”.
Naluri binatang-kususnya binatang-binatang tertentu-secara alamiah mengatur jenis, kadar dan waktu makan, serta tidurnya. Naluri manusia tidak demikian, karena manusia memperoleh kebebasan dan ini dapat membahayakah atau paling sedikit menghambat melaksanakan fungsi dan peran yang dituntutnya. Kenyataan menunjukan bahwa manusia yang melebihi kebutuhan jasmaninya, bukan saja menikmati makanan serta minuman dan tidak pernah puas, tetapi juga mengurangi aktivitas dan menjadikan lesu sepanjang hari.
Jika demikian, perlu diadakan latihan-latihan untuk menghindari lepasnya kontrol dorongan naluri fa’ali. Salah satu cara yagn ditempuh oleh agama untuk maksud tersebut adalah berpuasa.
Menurut ahli ilmu jiwa, manusia merasakan kenikmatan tersendiri pada saat ia berhasil memikul beban jasmaniahnya. Inilah dasar pemikiran yang digunakan untuk menafsirkan gejala banyaknya orang yang berpuasa meskipun ia tidak shalat atau bersikerasnya anak untuk berpuasa walau dilarang oleh orang tuanya. Memang kenikmatan ruhani melebihi kenikmatan jasmani, hanya sayangnya banyak orang tidak mengetahuinya karena tidak mencobanya.
Mari kita berpuasa dengan tujuan mengapai mardhotillah hingga kita menemukan dan merasakan titik kenikmatan tersebut dunia dan akherat.amin
0 komentar:
Posting Komentar