Darimana datangnya kemiskinan? Apakah selalu dari kemalasan? Apakah kemiskinan bukan bagian dari timbangan yang timpang, yang harus kita tambah sejumput dari bagian lainnya, sehingga keseimbangan akan tercipta. Bukankah semakin kita meluangkan bagian kita, timbangan kita semakin terangkat.
Di sisi lain kehidupan kita. Saudara kita mengirup udara dunia tanpa ayah yang mengajarinya berjalan, tanpa ibu mengusap kening mereka sebelum tidur. Mereka menapak dunia dengan tuntutan-tuntutan yang tak terkejar. Yang memaksa mereka harus menundukkan kepala di depan orang lain. Bukan tunduk karena hormat, tapi tunduk karena malu. Sungguh naas, karena malu tidak bisa mengikuti tour, seorang diantara mereka, dengan selendang melilit leher, rela meregang nyawa bahkan sebelum malaikat siap menjemput jiwanya.
Mereka, yang ditimpa musibah dan yang berada pada kemiskinan, maupun mereka, yang hidup tanpa ayah dan ibu, adalah bagian dari kehidupan kita. Mereka hidup di sekitar kita, di seberang jalan rumah kita, di kelas yang kita masuki, di bis yang kita tumpangi saat perpulangan konsulat. Tapi kita tidak dapat melihat mereka, dan kita tidak berusaha melihat mereka.
Seandainya kita mau, kita bisa saja meletakkan sebutir benih kasih kita pada mereka di ladang Allah yang subur. Jaga benih itu dengan keikhlasan, dan sirami secara istiqomah. Maka benih itu perlahan tumbuh menjadi tujuh bulir yang kokoh, dengan seratus biji pada tiap bulirnya. Dan siapa yang akan memetik biji itu kalau bukan kita sendiri.
Atau, kalau kita berminat, harta yang dititipkan Allah kepada kita ini, kenapa tidak kita pinjamkan kembali kepada Allah dengan pinjaman yang baik. Setelah itu, kita tidak akan pernah tahu denga pasti, berapa kali Allah melipatgandakan balasan dari pinjaman itu. (QS. al-Baqarah: 245)
Di depan para sahabat, Rasulullah Saw. bersabda: “Aku dan orang yang menanggung hidup anak yatim berada di surga seperti ini.” Rasulullah Saw. mengisyaratkan dua jari; jari telunjuk dan jari tengah dengan merenggangkan dua jari tersebut (HR. Bukhari)
“Barangsiapa yang membiayai hidup tiga orang, ia laksana orang beribadah di malam hari dan berpuasa di siang hari, juga berangkat pagi dan pulang sore menghunus pedang (berjuang) di jalan Allah, maka aku dan dia di surga seperti bersaudaranya dua jemari ini.” Rasulullah Saw. menempelkan dua jari, jari telunjuk dan jari tengah. (HR. Imam Ibnu Majah)
Subhanallah. Jika Allah menghendaki, tentu Allah dapat menghapuskan kemiskinan di dunia ini. Jika Allah menghendaki, tentu musibah tak perlu terjadi, dan tak perlu ada anak yang menjadi yatim. Tapi begitulah cara Allah melihat bagaimana hamba-Nya saling menebar kasih. Allah ingin menyaksikan indahnya pemandangan ketika seorang manusia menopang saudaranya saat tertatih, dan mengobati perih jiwa dan raganya saat terluka. Setelah itu, Allah akan memberikan balasan dengan jumlah terbanyak yang bisa dipikirkan oleh manusia, dan bahkan lebih.
Tapi jika kita ingkar, tidak menyisihkan harta bagi yang membutuhkan, bahkan untuk zakat sekalipun, alangkah malangnya kita. Firman Allah Swt:
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak yang tidak membelanjakan di jalan Allah, maka berilah peringatan mereka dengan siksa yang pedih, di suatu hari dimana emas dan perak dipanaskan dalam neraka jahannam, kemudian dahi, lambung, dan punggung mereka dibakar dengannya, sambil dikatakan pada mereka; ‘inilah harta bendamu yang kau simpan untuk dirimu sendiri, maka sekarang rasakan apa yang kau simpan.” (QS. at Taubah: 34-35)
Pada ayat lain, Allah memperingatkan dengan lebih tegas;
“Janganlah orang-orang bakhil mengira dengan barang-barang yang dikaruniakan padanya, bahwa bakhil itu lebih baik menurut mereka, justru merupakan kejahatan bagi mereka. kelak akan dikalungkan ke leher mereka barang-barang yang dibakhilkan saat hari kiamat.” (QS ali Imran: 180)
Setelah menempuh perjalanan ruhani singkat dalam tulisan ini, mungkin ada bagian hati kita yang akan tercerahkan kembali untuk sejengkal lebih peka dari sebelumnya. Peka terhadap apa yang terjadi di sekitar kita, dan pada diri kita sendiri.
Adalah kuasa Allah membolak-balik hati kita ataupun menetapkan hati kita. Adalah bukti keagungan Allah dapat membantu orang berhati ikhlas dalam melaksanakan niatnya. Dengan inayah Allah pula, para Trimurti merumuskan keikhlasan sebagai nilai pertama yang harus kita tanamkan di jiwa kita. Keikhlasan inilah yang akan mengantarkan shadaqah dan segala amal kita kita hingga diterima oleh Allah Swt.
Kita perlu berembuk, menentukan apa yang terbaik yang dapat kita kerjakan. Namun, menjadikan hadits berikut sebagai sebuah bentuk nyata tentu tidak cukup dengan konsep. Sabda Rasulullah Saw. “Sebaik-baik rumah di dalamnya ada anak yatim yang dirawat dengan baik. Dan seburuk-buruk rumah orang Islam ialah rumah terdapat anak yatim yang diperlakukan dengan buruk (HR. Imam Tirmidzi)Saat melihat saudara-saudara kita itu, berhenti mengatakan pada diri kita sendiri; “seseorang akan menangani permasalahannya”, atau “pasti ada seseorang yang akan membantunya.”. Kenapa kita tidak merubah perkataan itu menjadi “sayalah orang yang harus menolongnya”. Mungkin dengan begitu tak perlu lagi ada kain selendang menjerat leher saudari kita. Wallahu a’lam bisshowab[]
0 komentar:
Posting Komentar