yang tiba-tiba datang menghadapku,
duduk menyentuhkan kedua lututnya,
pada lutut agungmu,
meletakkan kedua tangannya diatas paha-paha mulyamu,
Lalu aku akan bertanya:
yaa… Rosulalsloh, tentang Islamku,
yaa… Rosulalloh, tentang Imanku,
yaa… Rosulalloh, tentang Ihsanku,
yaa… Rosulalloh, mulut dan hatiku bersaksi tiada tuhan selain Allah,
dan engkau Yaa, Rosulalloh, utusan Allah,
tapi, kusembah juga diriku. Astaghfirullah…
Dan risalahmu, hanya kubaca bagai sejarah,
yaa… Rosulalloh, setiap saat jasadku sholat,
setiap saat tubuhku bersimpuh, diriku jua yang kuingat,
setiap saat kubaaca sholawat,
setiap kali tak lupa kubaca salam,
salam kepadamu wahai nabi, juga rahmat dan berkat Allah,
tapi, tak pernah kusadari apakah dihadapanku kau menjawab salamku,
bahkan apakah aku menyalamimu,
Yaa… Rosulalloh, ragaku berpuasa,
dan jiwaku kulepas bagai kuda.
yaa, Rosulalloh, sekali-kali kubayar zakaat,
dengan niat dapat balasan kontan dan berlipat,
yaa, Rosulalloh, aku pernah naik haji,
sambil menaikkan gengsi,
sudah islamkah aku ?
Yaa, Rosulalloh, aku percaya Allah dan sifat-sifatnya,
percaya Malaikat-Malaikat,
percaya kitab-kitab sucinya,
percaya nabi-nabi utusannya,
aku percaya akhirat, percaya Qadha-Qadarnya,
seperti yang kucatat dan kuhafal dari ustadz,
tapi aku tak tahu, seberapa besar itu, mempengaruhi lakuku,
Yaa, Rosulalloh, setiap kudengar panggilan aku menghadap Allah,
tapi, apakah ia menjumpaiku, sedang wajah dan hatiku tak menentu,
Yaa… Rosulalloh, dapatkah aku ber-ihsan,
Yaa… Rosulalloh, kuingin menatap meski sekejap,
wajahmu yang elok megkilap,
setelah sekian lama mataku hanya menangkap gelap,
Yaa… Rosulalloh, kuingin mereguk senyummu yang segar,
setelah dahaga di padang kehidupan hambar yang membuatku terkapar.
Yaa… Rosulalloh, meski secercah,
teteskan padaku cahayamu buat bekalku sekali lagi menghampirinya.
By syams`.D
( 2 )
Bagaimana kau hendak bersujud pasrah,
sedang wajahmu yang bersih, sumringah,
dan keningmu yang mulia dan indah,
begitu pongah minta sajadah, agar tak menyentuh tanah.
Apakah kau melihatnya seperti iblis saat menolak menyembah bapakmu dengan congkak.
Tanah hanya patut diinjak,
tempat kencing dan berak,
membuang ludah dan dahak,
atau paling jauh, hanya lahan pemujaan nafsu serakah dan tamak.
apakah kau lupa bahwa tanah adalah bapak darimana ibumu dilahirkan,
tanah adalah ibumu yang menyusuimu, dan memberi makan,
tanah adalah kawan yang memelukmu dalam kesendirrian,
dalam perjalanan paanjang menuju keabadian.
Singkirkan saja sajadah mahalmu,
ratakan keningmu, ratakan heningmu, tanahkan wajahmu, pasrahkan jiwamu, biarkan rahmat agung Allah membelaimu,
dan terbanglah, kekasih.
Bagimu, bagimu kutancapkan kening kebanggaan pada rendah tanah,
telah kuamankan sedapat mungkin imanku,
kuselamat-selamatkan islamku,
kini dengan segala milikmu ini,
kuserahkan kepadamu Allah terimalah.
Kepala bergengsi yang yang terhormat ini,
dengan indra mata yang mampu menangkap gerak-gerik dunia,
kedua telinga yang dapat menyadap gersik-gersik berita,
hidung yang bisa mencium wangi parfum, hingga borok manusia,
mulut yang sanggup mengumgkap kebohongan jadi kebenaran seperti yang lain, hanyalah sepersekian tetes anugrahmu,
alangkah amat mudahnya engkau melumatnya Allah,
sekali engkaau melumat,
terbanglah cerdikku,
tebanglah gengsiku,
terbanglah kehormatanku,
terbanglah kegagahanku,
terbanglag kebanggaanku,
terbanglah mimpiku,
terbanglah hiddupku.
Allah.., jika terbang terbanglah,
sekarangpun aku pasrah,
asal menuju haribaan rahmatmu
المحافظة على القديم الصالح
والأخذ بالجديد الأصلح
( 3 )
Kawan, sudah Ramadhan lagi…
belum juga tibakah saatnya,
menunduk memandang diri sendiri,
bercermin firman tuhan sebelum kita dihisabnya.
Kawan, siapakah kita ini sebenarnya?
musliminkah,
mukminin,
muttaqin,
khalifah-Allah,
umat Muhammadkah,
khoiru ummatinkah kita,
atau kita sama saja dengan makhluk lain,
atau bahkan lebih rendah lagi,
hanya budak-budak perutdan kelamin.
Iman kita kepada Allah dan yang ghaib,
rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan,
lebih pipih dari kain rok perempuan,
betapapun tersiksa,
kita khusyu’ didepan massa, yang tiba-tiba buas dan binal,
justru disaat sendiri bersamanya.
Syahadat kita rasanya seperti perut bedug,
atau pernyataan setia pegawai rendahan saja,
kosong tak berdaya.
Sholat kita rasanga lebih buruk dari senam ibu-ibu,
lebih sepat dari menghirup kopi panas,
dan lebih ramai dari lamunan seribu anak muda,
dan kita sesudahnya justru lebih serius,
kita memohon hidup enak didunia dan bahagia di sorga.
Puasa kita rasanya hanya mengubah jadwal makan,
dan saat istirahat, tanpa menggeser acara buat syahwat,
ketika datang lapar atau haus, kita pun manggut-manggut,
Oo.., beginikah rasanya…
dan kita sudah merasa memikirkan saudara-saudara kita yang melarat.
Zakat kita lebih jauh dari berat terasa,
dibanding tukang becak melepas penghasilannya,
untuk kupon undian yang sia-sia,
kalaupun terkeluarkan harapanpun tanpa ukuran,
upaya-upaya tuhan menggantinya berlipat ganda.
Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri,
mencari pengalaman spiritual dan material,
membuang uang kecil dan dosa besar,
lalu pulang membawa label suci asli made in saudi, haji.
Kawan…
bagaimana, bilamana, dan berapa lama kita bersamanya,
atau justru kita sibuk menjalankan tugas mengatur bumi seisinya,
mensiasati dunia sebagai khalifahnya.
Kawan…
tak terasa kita memang semakin pintar,
mungkin kedudukan kita sebagai kholifah,
mempercepat proses kematangan kita,
paling tidak kita semakin pintar berdalih,
kita perkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan,
kita berkelahi demi menegakkan kebenaran,
melacur dan menipu demi keselamatan,
memamerkan kekayaan demi mensyukuru kenikmatan,
memukul dan mencaci demi pendidikan,
berbuat semaunya demi kemerdekaan,
tidak bebuat apa-apa demi ketentraman,
membiarkan kemungkaran demi kedamaian,
pendek kata demi semua yang baik,
halal-lah semua sampaipun kepada yang paling tidak baik.
Lalu…
bagaiman dengan para cendikiawan dan seniman,
para muballigh dan kiyai, penyambung lidah nabi.
Jangan ganggu mereka,
para cendikiawan sedang memikirkan segalanya,
para seniman sedang merenungkan apa saja,
para muballigh sedang sibuk berteriak kemana-mana,
para kiyai sedang sibuk berfatwa dan berdoa,
para pemimpin sedang mengatur semuanya,
biarkan merka diatas sana,
menikmati dan meratapi nasib dan persoalan mereka sendiri.
Kawan…
selamat tahun baru,
belum juga tibakah saatnya kita menunduk,
memandang diri sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar